Lihat ke Halaman Asli

Rahman Wahid

TERVERIFIKASI

Mahasiswa

Puisi | Kepengangan

Diperbarui: 13 Januari 2020   18:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Pixabay/Free-Photos

Tubuh ringkih, hati yang lirih, akal yang letih, benamkan keberanian. Hujamkan panah, lontarkan batuan, guyurkan darah. Penuhi diri dengan kebatilan, kedzaliman, kealpaan. Lumatkan diri dalam panasnya perapian abadi, tak kenal padam, tak kenal hilang, tak kenal punah.

Semangat yang terpupuk, benih yang disemai, akar yang disiram, pupus tak berjiwa. Ia terkulai lemas layaknya dedauan yang kalah diterjang badai. Kebajikan yang dibina, juga dijaga, juga dipelihara, sirna tak bersiswa. Kebersihan yang diamankan, serta dijernihkan, serta dimantapkan, kotor tak karuan. Ia hitam legam bak arang kain sutera.

Keriuhan yang menyeruak, betebaran, bergelimang, dan berceceran dimana-mana tak jadi soal dan tak layak dihiraukan. Posisi tak hendak peduli pada sesuatu hal diluar diri. Pergulatan batin masih terjadi, pernah terjadi, juga masih akan terus terjadi. Semangat, kebajikan, pun kebersihan telah lama tumpas, habis jadi ampas.

Satu pekikan lembut lantas buyarkan semuanya. Satu perkataan bijak biaskan kemantapan. Sebuah suara dari gua tak terpetakan, gema dari lorong sunyi tak terjejakan, resonansi dari ruang kosong tak bertuan "Kenali dirimu!". Apa maknanya? Maksudnya?

Lalu satu genggaman, atau buaian, atau tarikan, menyentuh bagian esensial dari kehidupan. Ia membelai hati, menemani kehampaannya, merengkuh dengan segala keanggunannya. Seberkas sinar cahaya mulai menyeruak dari pojok bangunan kepribadian. Setetes air mata dengan senoktah keyakinan hadir, mengenyahkan kepengangan, meniti pengharapan.   




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline