Lihat ke Halaman Asli

Rahmah Athaillah

Pecinta Literasi

Dia, yang Digugu dan Ditiru

Diperbarui: 22 September 2021   14:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hawa hangat mulai menyelimuti bumi di pagi yang mulai cerah, sinar matahari menyebar kesegala penjuru dengan segala keberkahan, memberikan sejuta energi kepada seluruh makhluk bumi untuk kembali melakukan aktivitas sehari-harinya. Pepohonan rindang saling mengayun pelan, tertiup angin lembut yang lewat.

            Para khalifah bumi pun tak lelah-lelahnya berlalu hilir mudik, memenuhi jalanan pedesaan yang mulai ramai. Seorang tampak masygul dengan kesibukannya tersendiri. Aku berjalan cepat menyusuri jalan setapak yang akan membawaku ketempat yang ramai dengan angkutan umum, sambil menggendong tas slempangku yang selalu setiaku bawa setiap sekolah.

            Hanya menunggu sebentar, angkutan umum yang kuharapkan dating dan membawaku menuju kesekolahan. Pelipisku mulai dipenuhi dengan bulir-bulir keringat. Cukup melelahkan, namun ini tentu saja menyenangkan.

            "Hai, Luthfi!" sapa Via ramah. Aku hanya tersenyum sembari kembali berjalan menuju kelas.

            Kelas tampak riuh, dengan langkah gontai aku menuju salah satu tempat duduk yang kumaksud. "Hai, Fah..bagaimana kabarmu pagi ini?" tanyaku sembar itersenyum kecil.

            Iamenggelengpelan. "Buruk, aku belum mengerjakan tugas yang diberikan oleh Bu Ima," jawabnya lesu.

            "Lho, kenapa?" tanyaku sedikit antusias, tidak biasanya ia menunjukkan wajah murungnya.

            Seketika, kelas yang keadaan riuh menjadi hening. Aku tak menyadari, bahwa rupanya sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh tepat. Bu Ima memasuki kelas dengan tenang, meskipun di setiap hati kami menyimpan rasa sedikit takut dengan kehadirannya. Maklum, beliau dikenal dengan guru yang tegas dan guru yang paling tua. Jangan harap dapat mengikuti pelajarannya jika belum mengerjakan tugas yang diberikan olehnya dengan sempurna.

            "Baik, anak-anak," ujarnya sesudah memulai salam, beliau mengawali pelajaran dengan menatap tajam murid-muridnya, membuat bulu kuduk kami semakin tak menentu. "Sudah saatnya kalian mencintai budaya membaca serta tulis menulis. Mengapa demikian? Karena ini penting untuk masa depan kalian. Mungkin, kalian belum merasakan hasilnya sekarang, dan apapun alasannya budaya membaca dan tulis menulis sangatlah penting. Dan, seminggu lagi akan diadakan lomba menulis essay yang akan diadakan oleh kementrian pendidikan. Untuk itu, saya akan menunjuk perwakilan dari sekolah ini."

            Kelas hening, semua saling pandang, bahkan sebagian ada yang acuh tak mau mendengarkan.

            "Ada yang tertarik untuk ikut?" tanyanya.Kelas menjadi lebih tegang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline