Lihat ke Halaman Asli

Hikam Ibnu Atho'illah As-Sakandari Seputar Hakekat Pujian Makhluk

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_104990" align="alignleft" width="150" caption="Hikam Ibnu Atho"][/caption] Kalau ada orang-orang yang memuji kita tentang kebaikan-kebaikan kita, maka jangan senang dulu Gan, karena pujian mereka itu hanya prasangka mereka saja bahwa kita ini baik. Sebenarnya yang lagi mereka puji itu adalah Allah karena Allahlah pemilik hakiki segala kebaikan yang ada pada diri kita. Adapun kita adalah tempat kelemahan dan kekurangan, begitu banyak keburukan yang kita lakukan, hanya saja Allah menutupi itu semua dengan kebaikan-kebaikan-Nya. Maka yang mereka puji sebenarnya adalah Allah dan bukan diri kita. Lalu apa yang harus kita lakukan? Ada dua hal yang harus kita lakukan:

Ya pertama kita harus jujur Gan, malu kepada Allah, contoh mudahnya begini; Dulu waktu SMP, PR saya sering sekali dikerjakan oleh teman yang paling pintar di kelas. Ketika mendapatkan nilai sepuluh, tentu yang dipuji oleh manusia satu kelas adalah saya. Nah, rasanya malu bangat Gan, sementara teman yang ngerjain PR saya itu ada di situ dan menyaksikan bahwa saya lagi dipuji-puji atas hasil kerja dia. Teman saya itulah seharusnya yang berhak menerima pujian-pujian itu. Nah begitu pulalah Allah, seharusnya Allahlah yang berhak atas pujian-pujian makhluk kepada kita, malu rasanya kalau kita mengaku bahwa itu adalah hasil kerja keras kita dan kebaikan kita.

Kedua, walaupun secara hakekat kebaikan itu adalah milik Allah, namun kenapa Allah tetap menggerakkan lisan-lisan makhluk-Nya untuk terus memuji kita dan orang-orang menisbahkan kebaikan-Nya kepada diri kita? Nah jangan salah sangka Gan! Ini sebenarnya isyarat dari Allah bahwa Allah maukan agar kita menjadi mazhar (tempat curahan) kebaikan-Nya dan agar kita meningkatkan kebaikan dan amal yang belum kita kerjakan. Jadi langkah kedua, kita harus bersyukur kepada Allah, sebab telah menisbahkan nama-Nya kepada diri kita. Dan kita juga harus bersyukur kepada Allah jika memang yang mereka pujikan itu adalah benar adanya. Namun jika tidak, atau kurang, maka berusahalah kita untuk mencapai taraf yang mereka pujikan itu.

Saya kasih contoh begini; Dulu Imam Abu Hanifah radhiyallahu anhu mendengar bahwa orang-orang memuji-muji beliau selalu qiyamul lail sepenuh malam. Padahal kenyataannya Imam Abu Hanifah hanya qiyam setengah malam saja. Malu bukan kepalang dan takut yang luar biasa dirasakan oleh Imam Abu Hanifah. Karena beliau paham betul bahwa Allah sangat mencela orang-orang yang suka agar orang-orang memuji dirinya dengan apa-apa yang tidak dia lakukan.Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

و يحبون أن يحمدوا بما لم يفعلوا فلا تحسبنهم بمفازة من العذاب

"Mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan maka janganlah kamu menyangka bahwa mereka akan terlepas daripada siksa…(Ali Imran: 188)"

Imam Abu Hanifah akhirnya benar-benar melakukan qiyamul lail tiap-tiap malam sepenuhnya.

Nah bandingkan Imam Abu Hanifah dengan diri kita. Kita justru sebaliknya, malu dan takut dicela, tapi begitu senang dipuji. Jangan-jangan kita termasuk kepada orang-orang yang dimaksud pada ayat di atas.

Demikian hasil dzikir berjamaah yang saya dapatkan tadi malam Gan. Ini adalah penjelesan terhadap Hikam ulama sufi Al-Imam Ibnu Atho'illah As-Sakandari:

إذا أطلق الثناء عليك و لست بأهل فاثن عليه بما هو أهل

"Jika dilontarkan pujian kepadamu dan kamu bukanlah pemiliknya, maka kembalikanlah pujian itu kepada yang punya."

Wallahu a'lam…

Muhammad Haris F. Lubis

Kairo, Jum'at 29 April 2011, pkl: 00.10 am




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline