[caption id="attachment_269332" align="alignnone" width="650" caption="Sumber: http://archief.rnw.nl/data/files/imagecache/must_carry/images/lead/article/2011/05/110429-ngobrol2_dgn_tgku_husaini_hasan_am_040.jpg"][/caption]
Kemarin, tokoh Majelis Pemerintahan (MP) GAM di Swedia Dr. Husaini Hasan berkunjung ke Aceh untuk pertama kalinya semenjak penandatanganan MoU Helsinki 2005 lalu. Sebagaimana dilansir oleh http://aceh.tribunnews.com/2013/09/28/dr-husaini-hasan-aceh-butuh-rekonsiliasi
Dalam kesempatan itu, Dr. Husaini menyatakan tentang perlunya satu upaya rekonsiliasi bersama untuk membangun Aceh pasca penandatanganan kesepakatan damai antara Pemerintah RI-GAM. Menurutnya, hal tersebut sangat penting dalam upaya menyelesaikan konflik internal sesama rakyat Aceh dan untuk mencegah perpecahan yang dikhawatirkan apabila tidak diselesaikan segera maka akan menjadi konflik berkelanjutan pada generasi-generasi yang akan datang dan mungkin ketika saat itu tiba persoalan ini akan semakin sulit diselesaikan.
Polarisasi Kekuatan
Berkaca pada pernyataan tersebut, meskipun tidak dijelaskan secara detail "konflik internal" yang dimaksud oleh Dr. Husaini, mayoritas rakyat Aceh telah mafhum bahwa yang dimaksud beliau adalah konflik yang terjadi antara sesama eks kombatan yang sama-sama menyusun kekuatan masing-masing di dua "kutub", di satu sisi kekuatan Partai Nasional Aceh (PNA) yang digawangi oleh mantan Gubernur Aceh, drh. Irwandi Yusuf diperkuat oleh para mantan panglima wilayah GAM dan di sisi lainnya ada Partai Aceh (PA) yang dipimpin oleh wakil gubernur Aceh, Muzakkir Manaf disokong oleh para eks tokoh GAM, Malik Mahmud. Zaini Abdullah dan Zakaria Saman. Pengkutuban dua kekuatan politik lokal ini mengarah pada sebuah persaingan yang tidak sehat, dimana dengan mengesampingkan nilai-nilai demokrasi, situasi politik Aceh dibuat semakin "sakit" akibat persaingan kedua partai eks kombatan ini. Unjuk kekuatan menjadi satu-satunya cara untuk memperoleh pengakuan "siapa yang paling hebat". Teror, intimidasi, black propaganda dan bahkan pembunuhan menjadi jalan yang dipilih dalam berpolitik. Dan yang paling membuat trenyuh adalah semua itu dilakukan semata-mata demi kepentingan kelompok dan kekuasaan yang (kurang ajar-nya) mengatasnamakan rakyat.
Oleh karenanya saya berpendapat bahwa pernyataan Dr. Husaini di atas merupakan statement yang jujur, tidak berpihak dan realistis. Rekonsiliasi adalah jawaban dari penyelesaian konflik internal di Aceh yang telah mengakar dan melukai bangsa sendiri. Dulu, ketika konflik terjadi dengan pemerintah pusat dimana korban berjatuhan dari kedua belah pihak, namun semuanya dapat diakhiri dengan manis melalui kesepahaman Helsinki. Sekarang, dengan saudara sendiri, apakah sulit? Semestinya tidak. Selanjutnya pernyataan tersebut juga jujur dan realistis karena selama ini baik pemerintah pusat maupun pemerintah Aceh cenderung "abai" dalam melihat persoalan ini. Kedua pihak merasa mampu dan sanggup mengatasi persoalan-persoalan di Aceh melalui praktek-praktek negosiasi dan diplomasi, namun sayang, praktek-praktek beradab seperti itu tidak dilakukan saat mengatasi konflik internal di Aceh.
Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa rekonsiliasi sebagaimana diusulkan Dr. Husaini Hasan menjadi langkah awal yang paling tepat demi masa depan Aceh yang lebih baik. Sementara itu, polarisasi kekuatan yang sudah terbangun mungkin akan sangat sulit diintegrasikan lagi, karena perbedaan mendasar dalam prinsip, sikap dan tujuan. Namun demikian, bukan tidak mungkin melalui rekonsiliasi, kedua kekuatan ini kembali kepada komitmen awal dengan meletakkan kepentingan rakyat di atas semua kepentingan yang ada.
Rafli Hasan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI