Lihat ke Halaman Asli

Qanita Zulkarnain

Magister Psikologi

Apakah Manusia "Toxic" Ada?

Diperbarui: 22 Juli 2020   20:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Istilah toxic dapat kita lihat semakin sering digunakan oleh warganet dan orang-orang yang kita temui di dunia nyata. Istilah yang awalnya identik dengan kandungan kimia yang berbahaya dan mematikan ini berkembang maknanya. Kita tidak lagi memahami toxic hanya sebagai kandungan kimia yang berbahaya, melainkan kata tersebut juga digunakan untuk mendeksripsikan seseorang atau perilakunya.

Hasil penelusuran kata toxic people yang dilansir oleh Google Trends menunjukkan bahwa pencarian dengan kata kunci tersebut meningkat setiap tahunnya. Lima trends pencarian teratas berisi pernyataan dan pernyataan yang mengarah kepada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan toxic people.

Mari kita lihat jawaban yang muncul dari pencarian tersebut.  Ini hasil teratas yang saya dapatkan: 

Pernah dengar yang namanya toxic people? (dok. pribadi)

Secara harfiah, manusia tidak bisa beracun. Meskipun demikian, apakah istilah racun atau toxic bisa atau tepat digunakan untuk menggambarkan seseorang atau perilakunya? 

Secara umum, istilah toxic ada, digunakan, dan bahkan dikaitkan dengan psikologi. Istilah toxic psychology sendiri dibahas dalam Newnes (2011).  Ia menulis bahwa psikologi sekarang adalah new alchemy yang dapat merubah timah menjadi emas sehingga ia mengkaji psikologi sebagai substansi yang rentan. Maksudnya adalah psikologi dapat menyembuhkan gangguan mental namun dalam prosesnya dapat mempengaruhi mental secara positif dan negatif. Secara khusus, ia menyorot psikiater dan psikolog klinis. Toxic yang ia maksud disini adalah sifat racun dari obat yang diresepkan kepada pasien. Hal ini disebabkan oleh pasien dalam terapi dan pengobatan klinis pada umumnya diberikan obat-obatan yang peredarannya terbatas. 

Secara spesifik, istilah toxic people juga ada dan digunakan dalam jurnal ilmiah. Templer (2018) menjelaskan toxic people dalam konteks pekerjaan dan bagaimana karyawan bisa toxic dalam lingkungan pekerjaannya. Toxic employees yang dirujuk oleh Templer berasal dari jurnal Jonason, dkk (2012). Jonason, dkk. menyebutkan bahwa dewasa ini toxic people semakin banyak dikaji. Istilah toxic yang ia gunakan dirujuk dari Ames (2009). Ames menggunakan kata toxic sebagai semacam jenis trait yang dapat dimiliki pemimpin/leaders yang pad akhirnya membicarakan toxic leadership. Toxic leadership sendiri banyak dijelaskan oleh berbagai jurnal ilmiah dan buku.

Rekam jejak penggunaan frase toxic people dalam buku sangat mudah dicari. Terdapat banyak sekali buku yang menggunakan istilah ini. Pada tahun 1995, Lillian Glass, Ph.D. (seorang ahli komunikasi interpersonal dan bahasa tubuh, komentator media, konsultan hukum, dan pengarang buku self-help), sudah menggunakan istilah toxic people sebagai judul bukunya. Buku tersebut berjudul "Toxic People: 10 Ways of Dealing with People Who Make You Feel Miserable".

Selain itu, Marsha Petrie Sue, seorang penulis; public speaker; dan motivator, juga menggunakan istilah toxic people dalam salah satu bukunya.  Sue (2007) membahas toxic people sebagai sesuatu yang dapat (dan harus) dinetralisir. Sampai sekarang, ada banyak sekali buku yang membahas toxic people dari pengarang dengan berbagai latar belakang.

Jauh lebih banyak dari buku, internet juga menyajikan artikel mengenai toxic people dengan penulis dari berbagai latar belakang juga. George S. Everly, Jr. PhD, ABPP, FACLP dalam Psychology Today secara spesifik memberi tips mengenali dan menghindari toxic people. Toxic people yang ia maksuda adalah para narsistik, frenemies, dan pengeluh kronis yang dapat mengakibatkan bencana interpersonal.

Praktisi psikologi Catherine Aponte, Psy.D. dalam artikelnya di Psychology Today menjelaskan bahwa manusia tidak toxic, namun perilaku beberapa orang memang buruk. Aponte menyarankan untuk menghindari penggunaan kata toxic. Ketika ada seseorang yang berperilaku tidak baik, Aponte menyarankan agar kita melakukan 3 hal berikut:

1. Tanyakan pada diri sendiri: Bagaimana saya bereaksi terhadap perilaku yang tidak baik?
Dalam menjawab pertanyaan ini, perlu penilaian atau judgement yang bijaksana. Penilaian yang bijak ini harus didasarkan pada konsep dasar bahwa orang lain dapat mengatur-atur kita tanpa melukai kita. Perasaan terluka atau menjadi korban dapat membuat kita sulit melihat kondisi yang terjadi secara objektif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline