Lihat ke Halaman Asli

Aku Rindu Mama

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku uli. umurku 25 tahun. rumah sakit jiwa ini adalah rumahku. Ruangan Anggrek adalah kamarku. Ruangan 5x10 meter yang sudah tiga tahun terakhir ini ku huni bersama sebelas orang pasien lain. Jangan tanya mengapa aku bisa sampai terdampar di sini. Bukan,bukan karena aku sudah lupa. Bukan pula karena "kegilaan" sudah menggerogoti ingatanku terhadap peristiwa tiga tahun yang lalu. Aku hanya tak ingin mengingat kejadian. itu lagi.

Terlalu menyakitkan bagiku untuk mengingat bagaimana mama waktu itu terluka akibat perbuatanku yang mendorong tubuh ringkihnya ke arah rak kaca di ruang baca cuma karena persoalan sepele, mama menegur hobi jalan-jalanku. Menurut mama, aku bukan jalan-jalan. Kata mama, aku keluar rumah setiap hari tanpa tujuan alias keluyuran. Waktu kejadian itu,tentu saja mama menangis.

Mungkin karena rasa sakit dari luka yang dirasakannya. Atau mungkin juga karena rasa sakit dihatinya menyaksikan aku,anak kandungnya, tega melukainya. Airmata itulah yang tak ingin ku ingat lagi. Airmata itulah yang ingin kulupakan. nyatanya tak semudah itu. Semakin aku berusaha melupakannya, semakin ingatan itu melekat erat dikepalaku. Menempel bagai ada lem yang merekatkannya di sana. Mungkin perasaan itu juga yang dirasakan keluargaku. Mungkin mereka belum memaafkanku. Buktinya selama tiga tahun perawatanku belum pernah sekalipun mereka mengunjungiku.

Di satu sisi, aku merasa aku pantas diperlakukan begitu. Namun disisi lain, di lubuk terdalam hatiku, aku rindu berada ditengah-tengah keluargaku. Rindu berbincang dengan mama. Rindu bercanda dengan ula, adikku satu-satunya. Aku berharap mereka melupakan kejadian lalu dan menerimaku kembali sebagai bagian dari anggota keluarga mereka. Mungkin harapanku terlalu muluk. Mungkin mereka sudah terlanjur memberi stempel 'gila' padaku. Sehingga mengkhawatirkan kegilaanku akan kambuh pada suatu saat dan akan kembali melukai salah seorang diantara mereka. Jujur saja, mereka tak sepenuhnya salah. Walau juga tak sepenuhnya benar. Aku memang 'sakit'.

Dan sebagai orang sakit tentu saja aku butuh obat. Kata dokter yang merawatku, bila aku minum obat yang beliau resepkan secara teratur aku tak akan 'kumat'. Kegilaanku tak akan kambuh. Harusnya, bila mama atau ula ada di sini , mereka bisa mendengar kata-kata dokterku itu. Bila mereka ada disini mereka bisa merasakan bahwa aku sungguh menyayangi mereka. Benar ma, aku sungguh-sungguh. Sungguh rindu pada mama...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline