Lihat ke Halaman Asli

Kemeja Putih

Diperbarui: 19 Juli 2016   16:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.pinterest.com

Jumino mengira, beberapa orang yang berkemeja putih, yang terlihat dari kejauhan  adalah panitia reuni  SMP satu angkatannya.  Tentu mereka masih ia kenal. Setidaknya rupa wajahnya.  Ada juga yang harus diingat lagi nama mereka.  Utamanya kawan perempuan yang berkerudung.

Tapi, ketika ia mendekat  sekumpulan kawan lamanya itu, seseorang berucap.”Kenapa tak pakai kemeja putih, Jumino?” Nania  bersuara sambil mengulurkan tangan berlebaran. 

“Aku tak punya kemeja putih,” jawab Jumino.  Lelaki ini bicara apa adanya.  “Apa harus putih?” 

Jumino tidak tahu sama sekali tentang hal ini.  Seto yang dua bulan lalu mendatangi warung tenda mi ayamnya hanya memberi tahu: Hari Jumat, dua hari setelah lebaran, kita ketemu.  Banyak yang bilang siap berangkat, ucap Seto kemudian.  Tetapi dia sama sekali tak memberitahu bahwa yang datang mesti mengenakan kemeja putih dengan bawahan warna biru tua.  Mungkin Seto lupa.  Atau memang belum ada keputusan waktu itu.

“Kita ingin suasana kembali ke putih biru, Jum,” kata Reni menimpali.  "Apa kamu nggak tahu dari facebook.  Juga WA."

“O…” Jumino hanya manggut-manggut.  Ia tak punya keduanya.  HP-nya masih sekedar untuk SMS atau menelepon.

Ia melihat banner besar yang terpampang dekat pintu aula kantor pemerintahan, tempat pertemuan itu.  “Kembali ke Putih Biru”: begitu tulisan itu  tertera dengan warna hitam berbingkai putih.

Jumino agaknya merasa tidak enak.  Atau kurang nyaman, jika hanya dirinya yang berkemeja lain.  Setidaknya akan terlihat mencolok dalam ruangan yang luas nantinya.  Maka, setelah semua yang ada di depan teras aula ia salami, ia beringsut  ke sebuah meja untuk mengisi daftar hadir.  Ia tulis nomor HP dengan bentuk angka yang sulit dibaca.  Juga hanya menulis tiga huruf inisial daerah tempat tinggalnya kini: Clc.  Dengan tanpa menengok kanan kiri, ia bersegera pura-pura ke kamar kecil.  

Saat berjalan, dari balik kaca hitam aula,  ia mengintip kawan-kawannya yang sudah duduk melingkar di samping meja-meja yang tertata rapi.  Di atas panggung beberapa anak tengah menunjukkan tarian.  Jumino mendalamkan pecinya.  Jangan sampai yang di dalam aula mengetahui kehadirannya, pikirnya.

Mumpung lengang, ia kemudian memutar ke arah parkiran.  Tempat Grand Astrea hitamnya beristirahat setelah melakukan perjalanan hampir tiga puluh kilo dari rumahnya. Dan karena terdapat di halaman depan, juga terhalang oleh gedung kantor lainnya, kepergiannya tak ada yang tahu.

“Aku ke mall saja.  Siapa tahu ada kemeja putih,” pikir Jumino.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline