Lihat ke Halaman Asli

Pradhany Widityan

TERVERIFIKASI

Full Time IT Worker

Intro Berbagi Cerita Soal Musik (dan Menjadi Snob)

Diperbarui: 8 April 2019   03:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilusrasi (sumber : hobimusik.wordpress.com)

Di awal tahun 2018, saya lupa tepatnya, saat itu saya pertama kali membeli buku tentang musik. Buku pertama saya bukan buku biografi musisi idola, tapi kumpulan tulisan tentang musik dan hal-hal yang menarik di sekelilingnya.

Pengalaman, curahan, review, hasil pencarian, kritik, pujian, hujatan hingga ajakan Taufiq Rahman dalam buku "Lokasi Tidak Ditemukan: Mencari Rock & Roll sampai 15.000 Kilometer" berhasil mengubah cara saya dalam menikmati musik.

Sedikit mundur beberapa minggu. Sebelum saya memutuskan membeli buku itu di toko buku Post, Pasar Santa, Jakarta Selatan, saya terhipnotis saat membaca tulisan wawancara tirto.id dengan Taufiq Rahman. Dari situ saya dapat dua hal, pertama buku yang saya sebut tadi, kedua tentang tulisan, jurnalisme, dan literasi musik. Dalam wawancara itu ada kutipan yang membekas buat saya yaitu

"Dan sebetulnya membaca media musik itu merupakan bagian dari mendengarkan musik itu sendiri".

Kembali ke buku. Hal yang paling signifikan berubah karena buku itu adalah playlist Spotify dan CD musik saya yang perlahan mulai berderet. Untuk yang kedua masih sebatas band-band indie lokal. Soal playlist Spotify, ini berpengaruh pada cara saya mendengarkan musik. Lebih tepatnya mengembalikan cara mendengarkan musik yang saya lakukan setidaknya hingga SMA.

Saya belum familiar dengan konsep playlist waktu itu. Karena belum punya komputer dan tidak tertarik membeli VCD / CD player. Saya dan bapak saya masih rajin membeli kaset pita. Alhasil, untuk mendengar satu lagu hits yang diputar di radio atau MTV, harus membeli satu album (pastinya diawali dengan niat dan mengumpulkan uang saku). Jadi, mau tidak mau harus mendengar lagu-lagu lain di album itu.

Setelah mengenal Winamp hingga kini layanan streaming musik terutama Spotify, playlist yang campur aduk menjadi cara saya mendengarkan musik. Ditambah algoritma si aplikasi yang hasilnya semacam "rekomendasi buat kamu" dan public playlist yang selalu muncul di halaman feed.

Sekarang, playlist-playlist itu sudah saya hapus, saya hanya menyimpan album per album para musisi. Tentu album yang sesuai tracklist album aslinya (jika ada), bukan versi deluxe, extended atau expanded. Hehehe. Ya, oke, sesekali public playlist masih saya buka juga, tapi biasanya hanya untuk mencari musisi baru di genre musik tertentu.

Saya mengamini bahwa mendengarkan musik satu album menjadi semacam ritual yang menyenangkan. Album sendiri adalah playlist yang dibuat si musisi sedemikian rupa. Tak jarang album merupakan respon musisi tersebut terhadap kehidupan sosial, politik, ekonomi, industri, dan lain-lain pada masa tertentu. 

Dengan mendengarkan beberapa album dari masa yang berbeda dari seorang musisi, saya bisa sedikit merasakan bagaimana transformasi musisi tersebut. Ada yang semakin dewasa dalam proses kreatifnya, ada yang semakin bagus after production-nya, ada yang semakin rumit, ada yang metal jadi pop, ada yang berganti personel dan mempengaruhi warna musiknya, ada yang semakin industrialis, macam-macam pokoknya.

Contohnya yang baru-baru ini full saya dengarkan dari album pertama hingga terakhir yaitu Red Hot Chilli Peppers (RHCP). Dari album pertama The Red Hot Chilli Peppers yang ugal-ugalan, rusak, rusuh, dan berantakan gak jelas. Sampai mereka menghasilkan album keren secara komersial, estetika, dan berdampak bagi selera generasi 90an (selera saya, sih, sebenarnya) yaitu Blood Sugar Sex Magik dan Californication. Album itu melambungkan nama Anthony Kiedis, Flea, John Frusciante (sekarang sudah resign), dan Chad Smith.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline