Lihat ke Halaman Asli

Perlukah Revisi Tarif PPh Final 1% PP 46 Tahun 2013?

Diperbarui: 5 September 2017   12:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pemerintah berencana menurunkan tarif PPh Final bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dari 1% menjadi 0,25% dari peredaran usaha bruto, dan rencana ini telah masuk dalam APBN 2018. Di awal di tetapkan aturan ini pada tahun 2013 telah memunculkan kontroversi walaupun tujuan awalnya untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu. Salah satu kontroversi adalah unsur keadilan dalam pengenaan PPh Final ini karena dasar pengenaannya adalah peredaran usaha bruto (omzet), entah menghasilkan keuntungan atau malah mengalami kerugian tetap di kenakan PPh Final tarif 1% dari peredaran usaha bruto (omzet).

Telah 4 (empat ) tahun sejak di tetapkan PP 46 ini ternyata memberikan peluang bagi Wajib Pajak untuk melakukan kecurangan dalam melaporkan kewajiban perpajakannya terutama terkait pelaporan SPT Tahunan PPh baik SPT PPh OP maupun PPh Badan. Bentuk kecurangan yang lazim di lakukan Wajib Pajak adalah tidak melaporkan keseluruhan peredaran usahanya. Salah satu praktek kecurangan yang masih di lakukan adalah melaporkan peredaran usaha dalam SPT PPh OP maupun SPT PPh Badan hanya sebesar di bawah batasan sebagaimana di tetapkan dalam PP 46 tahun 2013 yaitu sebesar Rp. 4,8 Milyar. Modus yang di gunakan adalah menyamarkan pembelian dengan cara membeli barang baik barang dagangan maupun bahan baku dengan menyamarkan dokumen faktur pajak  sehingga tidak terlacak oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bisa menyamarkan faktur pajak dalam rangka pembelian barang ? Modus yang paling sering di gunakan adalah menggunakan beberapa cara sebagai berikut :

  • Melakukan pembelian barang dagangan yang tidak berfaktur pajak, biasanya ini berasal dari barang barang yang di Impor dengan cara titip impor (importir barang campuran).
  • Melakukan pembelian dengan menggunakan nama lain dan menggunakan NPWP 00.000.000.0-000.000 sebagai identitas pembeli, hal ini di akomodir dengan memanfaatkan Grey Area Pasal 17 ayat (2) Peraturan Dirjen Pajak  PER - 24/PJ/2012 yang menyatakan bahwa : "Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah dalam hal Faktur Pajak tidak memuat keterangan mengenai :
    1. Nama , alamat dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak; atau
    2. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak, serta nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak untuk Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran."

Praktek umum yang di lakukan dengan menggunakan dasar Pasal 17 ayat (2) Peraturan Dirjen Pajak  PER - 24/PJ/2012 pembeli dan penjual bersepakat untuk bertransaksidengan menggunakan nama lain dan NPWP 00.000.000.0-000.000 dalam dokumen Faktur Pajaknya. Secara sepintas PKP Penjual merasa aman karena ini tidak bisa dikenakan sanksi STP sebagaimana diatur di Pasal 14 ayat (1) huruf e UU KUP, akan tetapi sebenarnya ini merupakan pelanggaran atas Pasal 39A UU KUP yang berbunyi :

" Setiap orang yang dengan sengaja:

  1. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
  2. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak."


Pelanggaran atas Pasal 39A UU KUP ini dapat di buktikan dengan dokumen yang di jadikan dasar transaksi yaitu dengan Faktur Pajak yang menggunakan Nama Lain serta NPWP 00.000.000.0-000.000 sebagai identitas pembeli di confirm dengan dokumen surat jalan, invoice serta bukti pembayaran (arus uang dan barang) dari konsumen kepada penjual (penerbit faktur pajak) yang tidak mencerminkan transaksi sebenarnya.


Atas praktek umum yang masih di lakukan dengan menerbitkan faktur pajak dengan menggunakan nama lain serta NPWP 00.000.000.0-000.000 sebagai identitas pembeli dengan tujuan menyamarkan pembelian ini di harapkan Direktorat Jenderal Pajak melakukan law enforcment terhadap PKP penerbit faktur tersebut dengan menerapkan Pasal 39A UU KUP.

Berdasarkan uraian di atas dan atas praktek kecurangan yang masih umum di lakukan Wajib Pajak yang mengaku UMKM dengan masih menyembunyikan peredaran usaha yang sebenarnya dengan hanya melaporkan peredaran usahanya kurang dari 4,8 Milyar rupiah dengan memanfaatkan kelemahan Dirjen Pajak  PER-24/PJ/2012, penulis mengusulkan agar di lakukan revisi atau perubahan atas Peraturan Dirjen Pajak  PER-24/PJ/2012 terlebih dahulu terutama pasal 17 ayat (2) agar hanya di berlakukan kepada PKP Pedagang Eceran saja atau yang hanya melakukan penjualan ke konsumen akhir, sedangkan dari pabrikan/distributor ke pedagang eceran (dimaksudkan untuk dijual kembali) diterapkan Wajib mengisi identitas dengan jelas dan lengkap terutama kolom NPWP walaupun pembeli bukan merupakan PKP. Setelah itu baru di lakukan revisi atas tarif PP No 46 tahun 2013 agar penurunan tarif PP 46 ini tepat sasaran yaitu ke UMKM bukan Wajib Pajak yang mengaku UMKM karena adanya celah memanfaatkan penerbitan faktur pajak dengan menggunakan NPWP  00.000.000.0-000.000.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline