Lihat ke Halaman Asli

Subhan Riyadi

TERVERIFIKASI

Abdi Negara Citizen Jurnalis

Cerita di Balik Wisata Menyusuri Kompleks Makam Raja Gowa Hingga Pantai Losari

Diperbarui: 26 Februari 2017   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(dokpri/subhan)

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya. Sebagai bentuk penghargaan sebelum mengambil hak cuti selayaknya PNS/ASN pada Rabu, 8 Februari 2017 kami berkesempatan mengunjungi mampir sejenak di Masjid Tua Katangka, lalu melanjutkan perjalanan ke Makam Sultan Hasanuddindi puncak bukit terbuka Tamalate yang ada dari Kelurahan Katangka Gowa , yang lokasinya memang terletak diatas Masjid kuno dikenal Masjid Katangka dibangun pada tahun 1630.

(dokpri/subhan)

Sultan Hasanuddin bergelar Pahlawan Nasional, karena kontribusinya begitu vital berperang melawan penjajah. Berada di tempat terbuka tanpa cungkup dalam deretan makam Raja-Raja Gowa lainnya. Saat itu tiba pada siang menjelang sore hari dan terlihat beberapa orang “sengaja” berjaga ketika dilihat rombongan pengunjung. Paling mengusik pemandangan kami adalah kondisi komplek makam begitu gersang kurang perawatan. 

Kompleks makam Raja-Raja Gowa ini terbagi dua bagian yang dipisahkan oleh sebuah pendopo. Hanya beberapa pohon tumbuh dan belum cukup rindang untuk memberi perlindungan bagi pengunjung terhadap sengat matahari. Situs sejarah Makam Sultan Hasanuddin di Sulawesi Selatan sangat membutuhkan perawatan optimal, untuk pertama dan terakhir mengunjungi makam pahlawan nasional dalam hati berkata, “Pemerintah setempat kok tidak memiliki belas kasihan terhadap sejarah perjuangan bangsa, merebut kemerdekaan Indonesia.”

Pemandangan pada jalan masuk menuju ke dalam kompleks Makam Sultan Hasanuddin Gowa dalam pendopo itu ada sebuah patung Sultan Hasanuddin. Tepat di depan patung Sultan Hasanuddin terdapat sisa-sisa peninggalan penjajah berupa sebuah meriam. Sultan Hasanuddin dinobatkan ketika berusia 22 tahun, menggantikan ayahnya yang bernama Sultan Malikussaid. Ibundanya, I Sabbe Lokmo Daeng Takontu, berasal dari keluarga kerajaan di Laikang.

(dokpri/subhan)

meriam-58b10ed5739373cb0438fadd.jpg

Patung Sultan Hasanuddin, dengan makam Raja-Raja Gowa terlihat di belakangnya. Patung itu diletakkan di bangunan utama yang di tengah kompleks makam. Sultan Hasanuddin, yang juga dikenal sebagai Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape, putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15, lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, tahun 1629 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het Oosten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Sampai sekarang keturunannya terkenal dengan gelar khusus ” Karaeang” menjadi Raja Gowa XVI pada tahun 1652, dan merupakan raja yang paling dikenal luas di luar wilayah Sulawesi Selatan.

Ia mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 16 November 1973. Makam Sultan Alauddin, Raja Gowa XIV, dengan lorong persegi di dasarnya, ada di dalam kompleks makam ini. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Oleh Belanda ia dijuluki Ayam Jantan Dari Timur atau dalam bahasa Belanda disebut de Haav van de Oesten karena keberaniannya melawan penjajah Belanda.

Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa yang berperan besar dalam penyebaran ajaran Islam di Kerajaan Gowa. Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Mengundurkan diri dari takhta kerajaan pada 1669 dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Untuk Menghormati jasa-jasanya, Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya dengan SK Presiden RI No 087/TK/1973.

(dokpri/subhan)

Demikianlah, setelah dirasa cukup kami pulang. parahnya lagi ketika kami hendak menuju mobil, berkerumun anak-anak meminta-minta belas kasihan, tentu saja sebuah pemandangan ini terkesan ada unsur “pembiaran” sengaja orang tua mereka mengamini anak-anaknya yang masih dibawah umur menjadi “peminta-minta” kian meresahkan kondisi makam Pahlawan Nasional.

Sepulang dari Makam Sultan Hasanuddin rutenya melintasi kembali Masjid Katangka juga kompleks Makam Syech Yusuf, pemandangan serupa ditemui. Disana telah terjadi komersilisasi wisata tempat-tempat bersejerahah, menambah buruk serta tidak nyaman sebagai tempat ziarah makam Raja-raja Gowa. Agar tidak terganggu kenyamanan dalam berkunjung ke tempat-tempat bersejarah, atas informasi tetangga yang mengantar kami niatan untuk singgah ke Makam Syech Yusuf kami urungkan.

Kita mesti belajar dari sejarah, bahwa hadirnya tempat-tempat bersejarah seperti Makam Raja-Raja Gowa, Masjid Katangka, Makam Syech Yusuf, Makam Pangeran Diponegoro, Benteng dan Museum membutuhkan perawatan ekstra, agar cagar budaya Sulawesi Selatan lestari tanpa unsur komersil menguntungkan yang akan memusnahkan keberadaan bangunan fenomenal warisan  kolonial sesungguhnya.

(dokpri/subhan)

Sah-sah saja mencari nafkah, tetapi lihat juga waktu dan tempat sekaligus kenyamanan pengunjung diutamakan, agar tidak terkesan jorok. Sebagai generasi penerus bangsa indonesia kita wajib belajar melestarikan, mengandalkan uluran Pemerintah tidak akan pernah cukup. Mereka yang tidak belajar dari kesalahan masa lalu akan cenderung mengulanginya, sering dengan cara yang lebih buruk.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline