Lihat ke Halaman Asli

PETRUS PIT SUPARDI

TERVERIFIKASI

Menulis untuk Perubahan

Jokowi Kapan Dialog Jakarta Papua Bisa Dimulai?

Diperbarui: 12 Maret 2016   14:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kini, jutaan pasang mata mengarahkan pandangannya ke Papua. Tanah Papua dirundung kemalangan berkepanjangan. Kemalangan itu masuk sampai ruang-ruang sakral, adat, bahasa, budaya dan agama. Adat dianggap bertentangan dengan nasionalisme sehingga dihancurkan secara perlahan. Bahasa ibu kian memudar. Jumlah penuturnya makin berkurang dan menunggu punah. Kelompok sanggar seni budaya yang peduli pada kemanusiaan seringkali diteror secara sistematis. Berbagai upaya sedang dilakukan untuk mengembalikan Papua ke kondisi awalnya sebagai “surga kecil yang jatuh ke bumi”. Suatu tempat di mana semua makhluk hidup berdampingan sebagai saudara tanpa diskriminasi seperti yang terjadi saat ini.

Dr. Neles Tebay, salah satu inisiator dialog Jakarta Papua meyakini bahwa dialog merupakan alternatif terbaik untuk membicarakan masa depan Papua. Dalam bukunya, “Dialog Jakarta-Papua, Sebuah Perspektif Papua” dijelaskan bahwa kekerasan melalui berbagai operasi militer yang dilaksanakan di Papua tidak berhasilkan menyelesaikan konflik. Justru operasi militer menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi orang Papua. Otonomi khusus dan berbagai kebijakan lainnya belum mampu menyelesaikan permasalahan Papua. Bahkan orang Papua kian tidak percaya lagi kepada pemerintah Indonesia. Untuk menjembatani berbagai kebuntuan itu, dipandang perlu menggelar suatu dialog terbuka antara pemerintah Indonesia di Jakarta dengan orang Papua.

Upaya serius ke arah dialog Jakarta Papua sudah dilakukan sejak beberapa tahun silam. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan kajian tentang Papua dan menerbitkan buku Papua Road Map sebagai dasar pijak melihat Papua ke depan. Dr. Neles Tebay dan Dr. Muridan mendirikan Jaringan Damai Papua (JDP) untuk mempromosikan dialog Jakarta Papua. Ironisnya, hingga saat ini dialog Jakarta Papua belum menemui titik terang.

Sepuluh tahun pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dialog dikesampingkan. Pemerintah Jakarta berdalih otonomi khusus Papua yang selama ini dilaksanakan mampu menjawab kerinduan orang Papua tentang Papua yang aman, damai dan sejahtera. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru menerbitkan Unit Percepatan Papua dan Papua Barat (UP4B), yang katanya untuk mempercepat proses pembangunan, tetapi sampai saat ini keberadaan UP4B sama sekali tidak menjamin Papua menjadi lebih baik.

Kini, Jokowi menjadi presiden sudah satu tahun lebih, tetapi upaya ke arah dialog belum menemui titik terang juga. Orang Papua bertanya-tanya, “mengapa pemerintah Jakarta takut menggelar dialog dengan Papua?” Padahal tokoh Papua seperti Dr. Neles Tebay dan berbagai pihak telah berupaya maksimal memperjuangan dialog Jakarta Papua. Mengapa dialog Jakarta Papua tidak menjadi agenda utama pemerintahan Jokowi-JK?

Pemerintah Jakarta seringkali mengeluarkan pernyataan bahwa status Papua dalam NKRI adalah sah, sudah final dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Kalau pemerintah Jakarta berpikir demikian, mengapa tidak mau berdialog dengan orang Papua yang adalah warga negaranya sendiri? Sikap ini merupakan suatu paradoks yang memperlihatkan kebingungan pemerintah Jakarta menghadapi permasalahan Papua. Sederhana saja, kalau Papua sah di dalam NKRI, mengapa pemerintah Jakarta takut berdialog untuk menyelesaikan permasalahan kemanusiaan yang sudah terjadi di Papua selama puluhan tahun silam sampai saat ini?

Jokowi menjadi presiden sudah satu tahun enam bulan (Oktober 2014-Februari 2016), tetapi belum ada tanda-tanda ke arah dialog Jakarta-Papua. Jokowi hanya bikin janji bangun pasar untuk Mama-Mama, mau bikin bandara, pelabuhan laut dan rel kereta api. Belum ada kebijakan komprehensif untuk Papua. Padahal, kalau mau menyelesaikan masalah Papua perlu melakukan kajian menyeluruh, sebelum ada kebijakan konkret di lapangan.

Program pembangunan yang dicanangkan oleh Jokowi untuk Papua masih bersifat parsial dan tidak menyentuh pokok permasalahan yang terjadi di Papua selama ini. Jokowi perlu berpikir ulang tentang program pembangunannya untuk Papua. Pengalaman selama ini membuktikan bahwa uang dan pembangunan infrastruktur tidak menyelesaikan permasalahan Papua. Sebab, itu bukan substansi permasalahan Papua.

Permasalahan Papua sudah sangat jelas dipetakan oleh LIPI dalam buku Papua Road Map. Ada empat permasalahan pokok yang selama ini terjadi di Papua yaitu 1) Sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik; 2) Kekerasan politik dan pelanggaran HAM; 3) Kegagalan pembangunan; 4) Inkonsistensi kebijakan otsus dan marginalisasi orang Papua. Keempat permasalahan ini perlu ditangani secara serius. Ironisnya, hingga saat ini, belum ada tindakan apa pun untuk mengatasi keempat permasalahan tersebut.

Jokowi perlu membuktikan komitmennya untuk membangun Papua. Tindakan konkret yang bisa dilakukan yaitu memulai dialog Jakarta-Papua. Melalui dialog Jakarta-Papua, berbagai permasalahan dan penderitaan orang Papua didiskusikan dan dicarikan alternatif yang tepat untuk mengatasinya. Kebijakan pembangunan untuk Papua harus lahir dari pembicaraan bersama antara pemerintah Jakarta dan orang Papua, bukan sekedar keinginan pemerintah Jakarta yang dipaksakan untuk orang Papua.

Pada saat bersamaan, orang Papua juga harus terbuka untuk menerima dialog sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan permasalahan Papua. Orang Papua perlu bersatu menyuarakan ketidakadilan yang dialami selama ini melalui dialog dengan pemerintah Jakarta. Orang Papua perlu menunjukkan jati diri dan martabatnya yang cinta damai dan suka berdialog dalam menyelesaikan permasalahan. Orang Papua juga perlu yakin bahwa dialog mampu menjembatani penderitaan orang Papua menuju masa depan yang lebih baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline