Lihat ke Halaman Asli

Peny Wahyuni Indrastuti

Ibu Rumah Tangga yang berjuang melawan lupa

Sepotong Mantra

Diperbarui: 1 Februari 2019   18:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Wajah lugunya seperti gambar senja di langit. Indah tanpa pernah bisa dijabarkan dengan kata-kata.

Tak henti jemarinya meremas satu sama lain. Galau sudah mencapai tingkat dewa jika demikian.

Ada air mata. Ada kesedihan.

"Mas minta maaf, Ayas." 

Lelaki muda berhidung mancung dengan rambut sedikit gondrong, memeluk Ayas yang menggigil dan tak henti berurai air mata. Ingusnya meliar, ia usap sekenanya di lengan dan juga kerah bajunya. Tak peduli apa kata lelaki muda yang selama ini menjadi separuh jiwanya.

"Mas tak ingin jadi anak durhaka. Semua Mas lakukan demi bakti kepada orang tua."

Telinga perempuan muda berparas manis itu seperti penuh dengung suara lebah. Ia hanya mendengar kata lelaki itu seperti serpihan roti yang remuk di dalam plastiknya.

"Percayalah, jika kita berjodoh, kelak kita akan bersatu kembali. Seperti temanku, yang bersatu kembali meski mereka sudah berstatus janda dan duda."

Kemudian semuanya hening, tertinggal napas yang menyesak sebab hati terpatah oleh kepergian kekasih yang menikah dengan perempuan pilihan orang tua.

Kalimat itu menjadi sepotong mantra yang ia simpan di dalam kotak terdalam hatinya.

Harapan digantung, meski terkesan seperti sebuah ilusi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline