Lihat ke Halaman Asli

Dua Puluh Kilometer

Diperbarui: 5 September 2018   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cabak kota terbang berputar-putar di atas bangunan tua pinggir jalan. Sayapnya membentang. Burung liar itu melayang. Menampakkan segurat garis putih di bagian bawah masing-masing sayap dan ekornya. Tanpa melihat ciri fisik, Lik Karso sudah sangat hafal burung itu. Bunyi cuitannya sangat khas. Lengkingan pendek hanya sekali. Berhenti, lalu diulang lagi.

Nyanyian burung nokturnal itu membuat Lik Karso makin gusar. Di kampungnya, kemunculan cabak adalah pertanda wayah wengi. Waktu bagi manusia membasuh diri, menunaikan sholat di langgar kampung. Para pria sudah pulang dari sawah. Kembali ke peraduan, bercengkrama dengan anak dan istri tersayang.

Terpisah jauh dari kampungnya, Lik Karso masih mengadu nasib di kota. Di depan bangunan tua dekat perlimaan lampu merah Lik Karso masih berharap ada pelanggan membeli jakrakan yang telah dia buat sewaktu di kampung.

Itu adalah mainan tradisional. Terbuat dari janur kelapa yang dikeringkan. Dianyam sedemikian rupa hingga membentuk burung. Bagian dasarnya beroda empat. Biasanya jakrakan dimainkan para bocah di desa dengan cara menariknya dengan seutas tali panjang.

Sewaktu adzan maghrib berkumandang Lik Karso merasakan perbedaan budaya yang mengusik. Seruan ilahi itu diperlakukan sekunder di tengah hiruk pikuk kota. Lik karso ingat semua anak desa pasti hening dan menjawab adzan. Tidak ada suara apapun selain suara bilal yang diperkenankan menyaingi kumandang adzan.

Lik Karso terbayang petuahnya sendiri pada Si Tole. Tidak ada bebunyian apapun di semesta ini yang pantas mengungguli suara adzan. Meski suara raja dangdut Rhoma Irama lebih membahana. Atau suara penyanyi legendaris Mesir Ummi Kultsum jauh lebih syahdu. Adzan tak bisa diungguli oleh suara makhluk.

Kenangan akan Si Tole di rumah membuatnya makin gusar. Putra semata wayangnya itulah yang jadi alasan mengapa dia terjebak di tengah hiruk pikuk kota. Kemarin Tole minta pada bapaknya untuk dibelikan mainan mobil rimot. Dengan enteng dan optimis Lik Karso mengiyakan. Mantap hatinya bahwa dagangannya bakal laku keras di kota. Sebab orang kota itu suka kerajinan tangan. Anggapnya dangkal.

Namun, apa yang terjadi sekarang adalah pemandangan seorang bapak parobaya tak jauh dari lampu merah perlimaan. Duduk dengan tulang belakang membungkuk. Kedua tangannya dia sandarakan pada lututnya. Sedang dua bola matanya memandang sepeda tua dengan ronjotan terpasang di kanan kirinya.

Dua keranjang bambu itu berisi puluhan jakrakan yang belum juga laku. Hati lugu desanya masih saja percaya ada yang meminati mainan kuno itu. Mainan yang dulu pernah jadi primadona sampai-sampai ada kabar bahwa Presiden Kedua Republik ini pernah memborongnya 1 truk untuk dijadikan buah tangan. Sempalan cerita itu masih jadi euforia di kepala Lik Karso. Baginya dan bagi para rekan pengrajin berjualan jakrakan adalah salah satu sumber penghasilan utama selain bertani.

Namun apa mau di kata. Baginya yang tak sekolah. tak pernah baca koran atau sempat lihat teve tak tahu bahwa arus kemajuan teknologi membuat penduduk kota tak sekedar berlari kencang namun capainnya sudah berpindah dimensi. Dari nyata ke maya. Orang-orang kota dewasa belanja barang, kirim barang, bayar tagihan, terima-kirim uang, makan-minum, bersihkan rumah, bahkan mau pijet pun tinggal tutal-tutul layar sentuh dunia maya.

Pun anak-anak. Untuk bermain mereka tinggal tutal-tutul segala jenis gam-gem. Aneka permainan canggih koleksi di smartphone kapan saja bisa dimainkan. Tak perlu susah payah memanjat pohon kelapa. Memotong janur muda. Mengeringkannya. Menganyamnya. Semua butuh waktu lima hari hingga jadi jakrakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline