Lihat ke Halaman Asli

Kekhawatiran Mahfud MD

Diperbarui: 8 Februari 2018   00:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mahfud MD khawatir kalau UU pasal penghinaan presiden yang dulu sudah dihapuskan itu, kalau dibikin lagi bisa 'oposisi ditangkapi' (merdeka.com 6/2). Betul juga memang bisa terjadi kalau sudah ada lagi 'senjatanya' untuk menangkapi oposisi. Senjata ini sudah ditutup riwayatnya oleh MK ketika era presiden lalu. Mengapa harus dihidupkan lagi? Sepertinya tidak ada lagi yang bernafsu besar untuk menghidupkan UU penghinaan presiden itu. Kalau ada ya keterlaluan.

Dunia sekarang bisa jalan lancar tanpa tangkap menangkap atau jotos-jotosan seperti abad lalu. Sekarang abad keterbukaan, semua soal bisa ditaruh diatas meja sehingga jutaan publik bisa ikut angkat bicara cari solusi. Dan semua dibikin secara terbuka! Pemikiran ratusan ribu orang atau jutaan orang pastilah lebih mendekati kebenaran dari pada hasil pemikiran beberapa orang. Semua harus lewat diskusi atau debat dengan argumentasi yang seilmiah mungkin.  

Sekarang sudah tidak ada persoalan kemanusiaan yang tidak bisa diselesaikan dengan cara keterbukaan. Semua soal diatas meja, jangan dibawah meja dan sembunyi-sembunyi coba selesaikan secara sepihak. Cara ini bisa dijalankan pada abad ketertutupan abad lalu. Sekarang soal-soal bisa dibentangkan ke jutaan publik dan semua bisa cari solusi dan memaparkannya ke semua pula. Itulah namanya abad keterbukaan. Informasi ke semua, informasi dari semua!

Kalau ada undang-undang yang bisa menangkap oposisi tanpa diskusi publik dan tidak sepengetahuan publik yang luas, ini malah bisa menjatuhkan pihak sipenangkap itu sendiri, artinya pemerintah (Jokowi) bisa dijerat atau dijatuhkan karena UU yang melapangkan jalan untuk menangkapi oposisi itu.

Apalagi kalau ada golongan (dalam negeri atau luar negeri) yang memang sengaja mengincer dan mau menjatuhkan pemerintahan (Jokowi) dengan menangkapi oposisi. Harus awas dan waspada taktik divide and conquer pak Greedy Internasional yang memanfaatkan segala-galanya yang bersifat kontradiktif dikalangan berbagai golongan di satu negara nasional, walaupun pak Greedy Internasional ini sudah gagal total bikin pecah belah 411, 212, HTI, Saracen, teror Thamrin, Alumni 212, dan terakhir dengan gerakan LGBT dan 'gerakan' aniaya ulama di Jabar. Dua terakhir ini juga terlihat gagal berkat kewaspadaan aparat dan kesedaran tinggi publik negeri ini, yang sudah banyak ngerti soal taktik 'divide and conquer' pak Greedy Internasional itu.

Publik negeri ini sudah terlihat menuju politik lebih mencintai sesamanya dari pada mendengarkan dan mengikuti provokasi luar untuk saling berantam, yang ujung-ujungnya kita kehilangan SDA seperti emas Papua dengan harga Triliunan Dollar dirampok Freeport selama setengah abad, begitu kita berhasil diadu domba 1965. Bahwa rakyat Indonesia sudah lebih pandai dan lebih meningkat kesedaran politiknya belakangan ini, sudah terbukti dalam mengantisipasi gerakan-gerakan pecah belah yang tertulis diatas. Publik dan pemimpin-pemimpin Indonesia dan aparat keamanannya sudah lebih pandai, sudah terbukti!

Saling mencintai dan saling menghargai sesama berbeda kultur dan agama adalah tradisi leluhur bangsa kita, dan sudah teruji selama berabad-abad. Perpecahan hanya karena ulah orang luar. Dan dalam era keterbukaan ini, semakin terlihat provokasi luar yang berusaha merusak tradisi mulia leluhur kita itu. Dan karena sudah melihat dan memahami provokasi luar itu, kita akan semakin merapatkan diri dengan berbagai kultur yang kita cintai dan banggakan itu. Keragaman kita adalah kekuatan kita, biasa kita bilang.

Salah satu pencerminan keragaman itu (politis) ialah adanya oposisi terhadap satu pemerintahan. Kalau tidak ada oposisi itu namanya zaman Stalin atau Hitler atau Soeharto. Oposisi harus bisa berjalan dan hidup normal, bisa mengkritisi semua kebijaksanaan atau langkah-langkah pemerintah yang kadang bisa konyol atau yang dianggap bisa merugikan masyarakat.

Oposisi melihat persoalan dari segi lain, pemerintah melihatnya dari segi lain pula. Itulah bagusnya karena tiap soal harus bisa dilihat dari dua segi atau lebih, bahkan terbaik ialah dari segi-segi yang bertentangan. Dan ini hanya bisa dijalankan secara efektif oleh oposisi. Dan ini semua untuk kepentingan publik, dan karena itu publik harus diikutkan, dijelaskan dan mengerti persoalannya sehingga bisa ikut cari solusi. Tiap persoalan harus tahan dan bisa dibentangkan diatas meja publik. Contoh bagus yang terdekat ialah 'kartu kuning' ketua BEM UI Zaadit Taqwa, kritiknya soal kurang gizi atau campak dikalangan anak-anak suku Asmat. Jokowi sangat menyambut baik kritikan ini dan dihadapi dengan simpatik dan menghargai.

Apakah Jokowi ingin menyembunyikan atau merahasiakan kurang gizi atau campak dikalangan anak-anak satu suku bangsa negeri Indonesia? He he  zamannya sudah jauh harus meninggalkan cara berpikir begitu, seperti zaman Stalin atau Soviet tidak boleh membongkar kejelekan dan kebusukan yang terjadi dinegerinya. Dan itu dulu, abad lalu. Walaupun sekarang juga masih ada rezim yang bikin kelakuan yang sama, seperti Korut yang hanya boleh dan mau mengabarkan kebaikan dan kehebatan negerinya . . . wow . .

Jokowi dan pemerintahannya agaknya sudah jauh dari situasi begitu. Katakanlah apa yang jelek yang diperbuat oleh pemerintahan Jokowi, paparkan dengan fakta-fakta yang meyakinkan dan mengharukan bagi publik Indonesia, beliau (presiden + kabinetnya) logisnya hanya akan berterima kasih, apalagi kalau menyertakan dengan usul konkret model solusinya. Buktinya kartu kuning kritik Zaadit Taqwa itu yang malah disambut untuk bikin perbaikan, dipersilahkan meliput persoalan suku Asmat untuk ikut membelejeti kekurangan yang mungkin terjadi disana yang mengakibatkan busung lapar dan campak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline