Lihat ke Halaman Asli

Anwar Effendi

Mencari ujung langit

Fanatik Bebersih dengan Warna Putih

Diperbarui: 20 Mei 2020   12:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Makam orangtua yang berdampingan sudah dibersihkan. (foto: dok pribadi)

Ada beberapa tradisi yang dulu diajarkan orangtua dan sampai sekarang masih dijalankan. Tradisi yang turun temurun, di antaranya kegiatan bersih-bersih sebelum Hari Raya Idul Fitri tiba. Kegiatan yang umum, yakni bebersih rumah dan kuburan.

Kegiatan bebersih itu, bukan asal dilakukan. Atau cuma latah ikut-ikutan. Namun selalu ada makna yang terkandung dari kegiatan tersebut. Intinya, untuk menyambut hari yang suci itu, harus diimbangi dengan kebersihan jiwa dan raga.

Dulu tradisi bebersih dilakukan seluruh masyarakat. Tidak pandang keluarga yang kaya, tapi keluarga yang kurang mampu pun berupaya melakukan bebersih. Jika dari kalangan berada, mereka melakukan pembenahan rumah dengan mengecat seluruh bagian tembok rumah.

Sementara warga yang kurang mampu pun tak mau ketinggalan ingin rumah terlihat ngejreng di hari Lebaran. Rumah mereka yang sekelilingnya menggunakan bilik turut dipercantik. Saya masih ingat betul, waktu disuruh orangtua untuk membeli kapur dalam bentuk bongkahan-bongkahan seperti batu ukuran kepalan tangan. Kapur itu kemudian dituangkan ke dalam air dan diaduk. Cairan kapur itu, istilahnya untuk melabur bilik rumah yang terbuat dari anyaman bambu.

Jadi pas hari Lebaran tiba, seluruh rumah yang ada di perkampungan baik yang dibangun dengan tembok maupun bilik anyaman bambu, terlihat ngejreng dan bersih. Banyak manfaat bebersih rumah menjelang Lebaran. Dampak langsung yang dirasakan, masyarakat akan enak jika saling berkunjung. Orang miskin tidak minder saat menerima kunjungan tetangga dari kalangan berada, karena rumahnya sudah bersih.

Saya pun masih melanjutkan kebiasaan orangtua, menjelang Lebaran mengecat tembok keliling rumah. Seperti terobsesi dengan kebiasaan orangtua yang dulu suka melabur bilik anyaman bambu dengan kapur sehingga warnanya putih. Saya sampai sekarang fanatik memilih cat warna putih untuk tembok rumah.

Makam mertua juga sudah bersih. (foto: dok. pribadi)

Walau kesannya tidak mengikuti trend perkembangan warna kekinian, saya merasa nyaman dengan warna putih. Pertama warna putih mengesankan kebersihan. Ruangan-ruangan dengan cat putih juga, jadi terasa lebih luas. Putih juga bisa berarti suci. Filosofinya, dengan putih hati kita dilapangkan dalam kesucian.

Selain mengecat tembok rumah, juga beberes isi rumah. Barang-barang yang dianggap tidak berfungsi lagi dikumpulkan. Sebenarnya masih bisa dipakai, namun untuk menambah keleluasaan ruangan, barang-barang tersebut terpaksa diafkir. Saya tawarkan ke beberapa tetangga barangkali berminat.

Dengan ruangan lebih lega, perasaan jadi tenang. Kalaupun ada tetangga yang bertamu akan enak menerimanya. Apalagi jika ada sanak keluarga yang datang dan merencanakan menginap, kalau ruangannya kosong dari barang-barang bisa menampung banyak orang.

Selain mengecat tembok rumah, tidak ketinggalan membersihkan makam orangtua dan mertua. Beruntung almarhum bapak dan almarhumah ibu bisa dimakamkan berdampingan, walau itu berada di pemakaman umum. Lokasi yang berdampingan itu memudahkan untuk pekerjaan bebersih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline