Lihat ke Halaman Asli

Susy Haryawan

TERVERIFIKASI

biasa saja htttps://susyharyawan.com

Wakil Presiden KHMA Membuka Topeng Politikus Ini

Diperbarui: 5 April 2020   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wakil Presiden KHMA Membuka Topeng Politikus Ini

Masalah covid sebenarnya sederhana. Pelik dan rumit  itu permainan para pemain politik. Motiviasinya beragam, ada yang karena demi panggung politik, mencari uang, atau menanamkan pengaruh sebagai pemimpin yang hebat. Ini masalah yang menjengkelkan sebenarnya. belum lagi narasi media yang menebarkan kekalutan dan kecemasan.

Pilihan menembus.... mencapai....kini sudah  sampai angka.... untuk penderita positif dan yang meninggal. Saat melaporkan yang sembuh biasanya tidak ada dalam judul, termasuk untuk head line. Itu baik media arus utama, ataupun media ecek-ecek sama saja. Miris sebenarnya. Sejatinya bisa lebih memilih yang positif, memberikan harapan dengan melaporkan harapan, kesembuhan, dan yang sejenisnya lebih banyak.

Belum lagi permainan politik yang lebih kasar lagi. Membantah dengan pilihan yang tidak sama apa yang diputuskan pemerintah pusat. Tentu bahwa pilihan pusat belum tentu benar iya. Siapa sih yang sudah memiliki kepastian cara yang tepat guna dalam kondisi seperti ini. Lha Amerika yang adidaya dan selama ini kiblat kemajuan saja juga kedodoran. Artinya, semua ya meraba-raba dan menentukan  benar dan salahnya sambil jalan.

Revisi keputusan dan adanya kesalahan itu bukan sebentuk kesengajaan, ya memang kondisi darurat. Namun ada pula yang memang terasa bahwa itu sebuah kesengajaan. Ketika diminta membuat jarak namun malah menciptakan kerumunan yang dengan cepat ditarik lagi, setelah kejadian.

Pemerintah terutama pusat, tentu  mempertimbangkan segala segi untuk mengambil kebijaksanaan. Bagaimana semua bisa terakomodasi dengan lebih baik, aman, dan semua bisa terselesaikan dengan sebaik mungkin. Negara kepulauan dengan ribuan nusa, ratusan suku dengan karakternya, dan juga model bersosialisasi yang berlainan.

Cukup pelik, tidak sesederhana mencontoh Italia, atau China, atau Belanda. Itu keadaan, kondisi, rakyat, dan juga karakter berbudayanya berlain-lainan. Mungkin ada yang jitu untuk di China, namun belum tentu bagi Indonesia. Pun sebaliknya. Khas dan itu pilihan yang tidak serta merta.

Nah, ketika orang hanya berteriak lakukan ini seperti negara itu. Atau mengapa memilih ini tidak seperti yang itu, gampang sebagai penonton, rakyat, atau yang hanya meminta. Lha yang memutuskan itu tidak demikian. Pertimbangan banyak banget, belum lagi berkejaran dengan virus, masih ada "virus" lain waton sulaya.

Salah satu yang paling "bandel" adalah Jakarta. Bagaimana berkali ulang menyiptakan kerumunan. Pembatasan angkutan massal. Hanya sehari toh tetap saja banyak potensi penularan. Mengadakan pasar murah, lagi-lagi hanya sehari. Toh itu tetap saja ada kerumunnan. Ini membuktikan, bahwa hal yang tidak mudah untuk menjaga jarak bukan hanya oleh rakyat, kepala daerah saja membuat kebijakan demikian.

Ketika pusat merencanakan akan ada bantuan tunai untuk warga yang sangat memerlukan bantuan, ada yang cukup lucu. Bagaimana ada angkat 3,6 juta yang perlu mendapatkan bantuan. Sebanyak 1.1 juta sudah menjadi bagian pemprov, dan yang 2.5 juta meminta pusat menanggungnya. Bagus ketika Wapres KHMA, mempertanyakan, apakah data untuk yang perlu ditanggung oleh negara itu sudah tercatat, nama, alamat, dan itu sudah terverifikasi. Cukup lucu ketika mengatakan masih perlu waktu untuk itu.

Ada beberapa hal yang patut dilihat lebih cermat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline