Lihat ke Halaman Asli

Parlin Pakpahan

TERVERIFIKASI

Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Pendistribusian MinyaKita di Daerah Belum Optimal

Diperbarui: 15 September 2022   06:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minyak goreng curah Minyakita dalam kemasan modern dengan HET Rp14.000 per liter. (Foto: Parlin Pakpahan)

Awal tahun lalu kita kaget sampai teriak-teriak soal kenaikan harga minyak goreng. Yang dituding sebagai pemicu ya macam-macam, mulai dari ketidakbecusan pemerintah mengendalikan harga CPO, sampai hukum ekonomi penawaran permintaan yang dihoohin tapi lebih banyak dijadikan perdebatan tak berujung, misalnya gegara lonjakan minyak nabati dunia yang naik menjadi US$1.340 MT (Metrik Ton). 

Kenaikan harga CPO ini menyebabkan harga minyak goreng ikut naik cukup signifikan. Yang lain gegara permintaan bio diesel untuk program B30.

Pemerintah jauh hari sebelumnya mencanangkan program B30, yakni mewajibkan pencampuran 30% biodiesel dengan 70% bahan BBM jenis solar untuk mengurangi laju impor BBM dan yang terakhir juga banyak dituding adalah gegara pandemi Covid-19, dimana harga minyak goreng terus merangkak naik disebabkan terganggunya matarantai logistik kita.

Meski Indonesia adalah salah satu produsen CPO terbesar di dunia, namun kondisi di lapangan menunjukkan sebagian besar produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan produsen CPO.

Para produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai harga pasar lelang dalam negeri, harga lelang KPBN (Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara) Dumai yang juga terkorelasi dengan harga pasar internasional.

Akibatnya apabila terjadi kenaikan harga CPO internasional, maka harga CPO dalam negeri juga turut menyesuaikan harga internasional.

Hiruk pikuk persoalan mahalnya minyak goreng tsb, sempat membuat kacau bisnis minyak sawit dunia. CPO yang diproduksi Indonesia menjadi pasokan utama bagi pasar dunia yang membutuhkan minyak nabati. Lantaran mengalami pelarangan ekspor, maka konsumen global kesulitan mendapatkan pasokan CPO dari Indonesia.

Pasca pemberian izin kembali ekspor CPO dan produk turunannya, juga regulasi terkait kewajiban para eksportir untuk menyuplai kebutuhan pasar melalui Domestic Market Obligation (DMO) dengan harga yang sudah ditetapkan melalui Domestic Price Obligation (DPO), semacam pesan kepada dunia akan pentingnya keberadaan minyak sawit di Indonesia. Harga minyak goreng perlahan-lahan mulai turun, tapi masih belum sesuai betul dengan harapan berbagai kebijakan yang diluncurkan.

Minyak goreng kelas premium Filma yang sulit beringsut turun. Foto : Parlin Pakpahan.

Minyak sawit yang diolah menjadi minyak goreng sawit di pasar domestik, sempat menyakiti ekonomi rakyat dengan kenaikan harga tertinggi hingga Rp25.000-Rp30.000/liter akibat harga jual CPO yang melambung tinggi di pasar dunia. Keberadaan minyak goreng sawit sebagai salah satu dari kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako), sempat menyebabkan naiknya inflasi nasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline