Lihat ke Halaman Asli

Memahami Zionisme (Bagian 1): Awal Mula Konflik Israel-Palestina

Diperbarui: 14 Desember 2017   21:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Zionisme. Photo: returnofkings.com

"Jika anda bersikap netral dalam situasi ketidakadilan, anda harus melihat dari sisi si penindas. Jika seekor gajah menginjak ekor seekor tikus dan anda mengatakan bahwa anda netral, si tikus tidak akan menghargai netralitas anda."[1]

~Desmond Tutu

Untuk memahami konflik Israel-Palestina, yang sekilas terlihat begitu rumit dengan segala dinamikanya, misal: runutan peristiwa, pihak-pihak yang terlibat, doktrin agama, geo strategi, keterlibatan negara besar, sentimen etnis, kepemilikan senjata, perebutan Yerusalem[2], dan lain sebagainya, hal pertama yang harus dibahas adalah Zionisme itu sendiri. Pangkal dari permasalahan Israel-Palestina sesungguhnya adalah Zionisme. Banyak orang yang memahami bahwa Zionisme adalah gerakan agama, padahal sesungguhnya Zionisme adalah suatu gerakan politik, ekonomi, dan identitas yang dibalut oleh jubah keagamaan.

Artikel ini dibuat untuk mengajak pembaca untuk memahami konflik Israel-Palestina mulai dari hal yang paling mendasar, yaitu tentang Zionisme itu sendiri. Zionisme adalah sebuah doktrin yang mengubah segalanya, tanpa adanya Zionisme tidak akan pernah ada konflik Israel-Palestina seperti yang kita ketahui hari ini.

Pada dasarnya, Zionisme adalah suatu gerakan perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan kepada etnis Yahudi di seluruh daratan Eropa jauh sebelum berdirinya Israel tahun 1948. Gerakan Zionisme dimulai pada kisaran pertengahan sampai akhir abad ke-19 di benua Eropa. Pada saat itu, etnis Yahudi di Eropa adalah etnis minoritas yang tertindas karena gerakan anti-semitisme orang-orang Kristen Eropa. 

Orang-orang Yahudi di Eropa mengalami banyak peristiwa kelam dalam hidupnya seperti dikucilkan, dibenci, terpinggirkan, dan dikonsentrasikan dalam ghetto(pemukiman khusus Yahudi).[3] Jumlah etnis Yahudi pada tahun 1933 di seluruh Eropa adalah 9,5 juta orang, sekitar 1,7%-nya dari total populasi di Eropa. Namun, apabila dilihat dari seluruh populasi Yahudi di dunia yang jumlahnya 15,3 juta orang, Yahudi di Eropa mencakup 60%-nya.[4]

Tiga generasi keluarga Yahudi di Vilna. Photo diambil antara tahun 1938-1939. Photo: US Holocaust Memorial Museum

 

Dalam tahapan yang lebih jauh, anti-semitisme terkadang sampai pada tahap pembunuhan, seperti pada kasus pogroms,[5] di mana terjadi pembunuhan dan pemerkosaan dalam skala besar. Walaupun misalnya tidak sampai membunuh, etnis Yahudi dalam kehidupannya sebagai masyarakat mengalami berbagai macam diskriminasi seperti larangan untuk memiliki tanah, sekolah yang baik, pekerjaan, dan hak-hak politik. 

Terkadang, meski jarang terjadi, ada juga tawar menawar secara korup untuk mendapatkan hak kewarganegaraan. Yahudi diminta sejumlah harta bendanya sesuai dengan kesepakatan untuk mendapatkan kewarganegaraan. Dari sejarah panjang yang kelam itu, puncaknya adalah peristiwa holocaust, yaitu genosida secara sistematis terhadap etnis Yahudi di Perang Dunia II.[6]

Namun, apabila dilihat lebih ke belakang---sebagaimana latar belakang yang melandasi setiap pergerakkan sosial---sebelum lahirnya Zionisme, Yahudi sudah mengalami anti-semitisme dari sejak abad ke-13 ketika diusir secara besar-besaran dari Inggris. Di abad ke-15 juga sama, Yahudi diusir dari tanah Iberia (lembah di sekitar Spanyol dan Portugis) secara besar-besaran.[7]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline