Lihat ke Halaman Asli

Pairunn Adi

Penyuka fiksi

Cinta Seruni

Diperbarui: 1 Oktober 2016   01:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pixabay.com

Perbincangannya dengan angin beberapa malam, masih belum menemukan seikat kesepakatan. Entah sampai kapan perdebatan itu menemui titik terang.

Perempuan setengah tua itu masih kekeh dengan pendapatnya. Sunyi, sepi adalah cara yang terbaik melupakan cinta yang hilang. Tapi, keresahan menganggunya.

Pada senja ia masih menyukai sepi. Ia sandarkan punggungnya pada pohon jati di pinggir waduk tua. Sesekali tangannya melempar kerikil ke dalam air, sambil memandang metari yang sebentar lagi tenggelam.

Seruni, nama perempuan itu, berwajah cantik walau bertubuh mungil. Tak puas perbincangannya dengan angin malam, ia mencari kepastian pada angin senja.

"Bukan, dengan sepi kau tak akan mampu melupakan itu semua, tapi, kau akan semakin memupuk luka itu," kata angin mencoba mematahkan keyakinan Seruni.

"Setidaknya, aku masih bisa merasakan sisa-sisa kehangatannya," jawab Seruni membela diri.

"Sampai kapan?"

"Entahlah...."

"Lupakan yang sudah pergi, jangan menyiksa hatimu sendiri. Lihatlah, masih banyak cinta di luar sana menunggu uluran tanganmu."

"Jangan memaksaku! Tidak bisakah kau menjadi temanku?" desis Seruni dengan keras batunya.

Seruni mulai jenuh, ia berdiri, hendak melangkah ke tepi waduk. Tapi diurungkan niatnya, ia melihat sosok lelaki berdiri di sana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline