Lihat ke Halaman Asli

Pesta Ngarot

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tadi, saya baca artikel di Kompas. Judulnya, Pesta Ngarot. Pesta Ngarot adalah semacam upacara yang dilakukan oleh masyarakat Indramayu menjelang masa tanam padi. Di kampung saya, yang mayoritas penduduknya petani, setahu saya, tidak ada upacara yang digelar menjelang masa tanam padi. Karenanya, memebaca artikel "Pesta Ngarot", sangat menarik bagi saya.

Inti dari pesta itu adalah dilibatkannya pemuda dan pemudi dalam menanam padi. Tujuannya, agar mereka mau dan mampu menjadi petani menggantikan para orang tuanya. Sebagaimana layaknya sebuah upacara, suasana ramai menghiasai Pesta Ngarot. Pemuda dan Pemudi yang akan ikut menanam padi, dihiasai dengan pakain tani. Celana panjang se betis warna hitam, baju lengan panjang warna hitam, dilengkapi dengan "dudukuy", menjadi pakaian utama pemuda pemudi dalam Pesta Ngarot.

Pesta tersebut telah berjalan puluhan tahun. Dan sebelum tahun 1980 an, tujuan untuk regenerasi para petani lewat upacara tersebut, terbilang berhasil. Banyak para pemuda yang mau menggantikan orang tuanya untuk menggarap sawah. Tak aneh, kalau akhirnya Indramayu termasuk lumbung padi di daerah Jawa Barat. Kesejahteraan masyarakatnya pun terbilang maju. Mereka menjadikan bertani sebagai usaha utama penyambung hidup.

Namun, sejak tahun 1980 an, kondisi berubah. Pemuda tidak mau lagi menjadi petani. Gemerlap kehidupan di kota besar, telah menorong pemuda untuk meninggalkan kehidupan peertanian dan menuju kota. Bahkan, tak sedikit di antara mereka yang mengadu nasib ke luar negeri. Dampaknya, tak ada regenerasi di desa. Ketika, orang tua sudah tak kuat lagi mengurus sawah, sementara anaknya malah kerja di kota, akhirnya sawah di jual. Selain karena sudah tidak kuatnya menggarap sawah, alasan lain untuk menjual sawah, adalah untuk membiayai anaknya kerja di kota atau di luar negeri. Pada akhirnya sawah sawah dimiliki oleh orang lain, meskipun masih digarap oleh pribumi. Kondisipun berubah, asalnya orang pribumi adalah pemilik sekaligus penggarap sawah, sehingga kehidupan mereka jadi sejahtera, sekarang mereka hanyalah penggarap. Jika panen tiba, hasilnya dibagi dengan pemilik sawah. Kondisi ekonomipun berangsur angsur berubah ke arah yang kurang baik.

Kondisi tersebut, diperparah oleh krisi ekonomi nasional bahkan internasional yang berdampak pada kesulitan ekonomi di kota kota besar. Ahirnya anak anak petani pribumi yang tadinya kerja di kota, pulang kampung. Dan dikampung mereka menjadi buruh tani. Mereka bekerja pada pemilik sawah yang dulunya dimiliki oleh orang tuanya. Ironis, orang tua menjual sawah untuk biaya anak pergi kerja di kota, namun, saat kerja dikota tidak lagi menjanjikan, anak pulang kampung dan menjadi buruh di kampung sendiri. Sedangkan "Pesta Ngarot", walau masih dilakukan, hanya sebatas mempertahankan budaya yang kurang berdampak banyak.

Apa yang terjadi di Indramayu tersebut, saat ini, juga menimpa kampung saya. Banyak para pemuda yang enggan menggarap sawah menggantikan orang tuannya. Bahkan, mereka merasa ngengsi kalau harus pergi ke sawah. Menjadi tukang ojek, dipandang lebih mulya oleh mereka dari pada menggarap sawah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline