Lihat ke Halaman Asli

Santoso, Teroris atau Pahlawan?

Diperbarui: 28 Juli 2016   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: beritaindonews.com

Sabtu itu hari sedikit mendung namun tidak turun hujan. Waktu sudah menunjukan pukul 13.30 WITA, tetapi prosesi pemakaman belum juga dimulai. Tepat tanggal 23 Juli 2016 rencananya akan diadakan pemakaman salah satu manusia yang paling dicari polisi yang dikenal sebagai gembong “teroris” Santoso alias Abu Wardah.

Lima lubang hasil tembakan prajurit TNI di perut dan lengan mengantarkan Santoso menuju kematiannya. Senin 18 Juli benar-benar menjadi hari yang naas baginya. Sergapan tim Alfa 29 dalam operasi TInombala mengakhiri petualangan pria berumur 40 tahun tersebut. Ia bersama keempat pengikutnya terperangkap dalam kontak senjata ketika sedang berada di pinggir sungai di wilayah hutan dan pegunungan Tambarana, Poso Pesisir Utara, Poso, Sulawesi Tengah.

Bersama Santoso, Mukhtar alias Kahar terluka tembak cukup parah di sejumlah bagian tubuh. Ia adalah salah satu pengawal Santoso yang melakukan perlawanan hebat hingga akhirnya tewas tertembus timah panas. Dua perempuan, salah satunya adalah istri Santoso berhasil melarikan diri bersama satu orang rekan Santoso. Meskipun akhirnya istri Santoso tersebut berhasil ditangkap.

Santoso, pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT) telah berbaiat kepada Daulah Islamiyah, atau lebih dikenal dengan ISIL (ISIS) sekitar dua tahun lalu. Baiat Pria berperawakan ceking tersebut diunggah di Youtube pada 30 Juni 2014. Dalam video berdurasi 12 menit 30 detik ini, Santoso menyatakan MIT berbaiat kepada Khilafah Islamiyah sebutan lain untuk ISIL (ISIS).

Santoso menjadi daftar pencarian orang karena dianggap sebagai penyebab beragam aksi teror yang dilakukan oleh kelompoknya. Anak buahnya, Rafli alias Furqon memimpin serangan ke Bank BCA di Palu dan mengambil senjata polisi. Selain itu, kelompok bersenjata lain di Indonesia kerap mengirimkan anggotanya untuk berlatih bersama kelompok Santoso. Salah satu tokohnya adalah Daeng Koro, pria yang akhirnya tewas dalam baku tembak dengan aparat 2015 lalu.

Jenazah Santoso dijemput dari Rumah Sakit Bhayangkara, Palu, sekitar pukul 08.00 WITA. Perjalanan yang ditempuh dari Kota Palu menuju di Desa Lanto Jaya, Landangan rumah Ibu Santoso ditempuh sekitar empat jam. Sejak pagi, keluarga, kerabat serta pelayat sudah menanti kedatangan jenazah Santoso. Spanduk bertuliskan “Selamat Datang Syuhada Poso” terpampang di depan lorong rumah persemayamannya. Kehadiran para simpatisan, dan keluarga Santoso, serta warga sekitar menimbulkan kemacetan selama dua jam di sepanjang jalan menuju pemakaman.

Para pelayat yang menghadiri acara pemakaman itu selain berasal dari warga setempat, mereka berasal dari Kabupaten Morowali, Kabupaten Poso, Tojo Una-Una, juga dari Palu. Menurut seorang warga yang hadir, Santoso merupakan pahlawan karena mati menegakkan agamanya dan sudah membalas sakit hati saudara-saudaranya ketika konflik horisontal Poso antara tahun 1998 hingga 2000-an silam.

Dalam proses pemakaman, tidak ada pengamanan aparat dari TNI dan Polri yang berseragam. Hal itu disebabkan karena keluarga Santoso meminta aparat untuk tidak ada di lokasi guna menghindari kemungkinan adanya gesekan antara aparat dan para simpatisan Santoso. Proses pemakaman pun berlangsung aman dan kondusif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline