Menang menjadi arang, kalah menjadi abu. Barangkali itulah ungkapan yang pas, ketika menyaksikan puing kehancuran yang tersisa di desa Pendung Talang Genting (Pentagen), pasca bentrok dengan warga desa tetangganya Seleman Kecamatan Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Jambi, Senin 30 Juli 2018 yang lalu.
Dipicu oleh perkelahian pelajar MAN 3 dan SMA 6, salah satu siswa asal desa Seleman luka parah. Tak terima warganya dianiaya, pemuda Seleman menyerbu desa Pentagen. Amarah pun tak bisa dikendali. Muaranya, belasan motor dan beberapa unit rumah hangus dibakar.
Kemarin saya dan suami mendatangi lokasi. Sebelum memasuki area, kami terlebih dahulu minta izin kepada petugas yang sedang berjaga-jaga di gerbang masuk. Sampai di sana, hanya kami berdua yang melewati jalan. Pentagen tak ubahnya seperti negeri tak berpenghuni. Walaupun kondisinya sudah dinyatakan kondusif, rupanya masyarakat masih enggan keluar rumah.
Tiada kata lain yang terucap di lidah kecuali beristighfar. Sambil memperhatikan lingkungan sekitar, saya mengajak suami memasuki kawasan lebih jauh ke dalam. Mengikuti jalur ke lokasi wisata Taman Pertiwi. Kurang lebih satu kilometer dari gerbang masuk, kami bertemu dua pria dewasa sedang ngobrol di pinggir jalan. Kami saling menyapa dan terlibat percakapan beberapa detik. Satu darinya mengingatkan, "Sebaik jangan ke sana dulu Pak. Masih sepi."
Saya dan suami berbalik badan. Saat akan keluar dari Pentagen, dari jauh terlihat anak-anak bermain di depan Masjid. Rupanya warga memilih mengugngsi di dalam masjid.
Huru-hara yang menimpa masyarakat Pentagen dan warga Seleman ini patut menjadi pembelajaran bagi kita semua. Terutama bagi orangtua yang punya anak pria seumur SMP-SMA. Karena pada usia inilah anak-anak zaman sekarang rentan terhadap perkelahian dan tauran.
Akhir-akhir ini, tauran antar siswa ini seolah-olah menjadi trend di kalangan remaja. Di desa maupun kota. Tak ubahnya seperti api dan balon gas. Sedikit saja tersentuh, langsung meledak sejagat negeri.
Pengalaman saya yang tinggal di perbatasan sebelah timur desa tetangga, dan berdampingan dengan SMP, MTS, dan SMA, saling intai antara siswa sekolah satu dengan lain sudah merupakan tontonan. Minimal sekali sebulan. Segannya kepada guru, kalau kebetulan ibu dan bapak pendidik tersebut sedang berada di lokasi. Selepas itu, mereka meraja lela.
Hukuman dari sekolah sudah tidak mempan. Di sini pihak sekolah pun tak bisa bertindak terlalu tegas. Salah-salah bisa dikenakan pasal Perlindungan Anak.
Yang paling mengganggu, ketegangan berlanjut pada malam hari. Di sini yang paling terusik adalah warga yang berdomisili di perbatasan desa. Karena di sanalah sang jagoan berbeda desa itu saling tawar-menawar siapa yang berani menyerang duluan. Tak jarang berujung saling lempar yang menyerembet rumah penduduk.
Jika ditegur oleh warga mereka melawan. Kapan dikejar malah lari terbirit-birit. Malam berikutnya berulang kembali. Begitulah seterusnya sampai berbulan-bulan.