Lihat ke Halaman Asli

Nursalam AR

TERVERIFIKASI

Konsultan Partikelir

"Nasi Anjing" dan Khazanah Ungkapan Diskriminatif dalam Bahasa Indonesia

Diperbarui: 27 April 2020   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cover buku "9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing" karya Alif Danya Munsyi alias Remy Sylado/Sumber: Dokpri - Nursalam AR

Kasus "Nasi Anjing" akhirnya selesai, setidaknya untuk sementara ini.

Sebagaimana dilansir oleh Kompas.com pada Ahad, 26 April 2020, kasus pembagian nasi bungkus berlogo "Nasi Anjing" dan gambar kepala anjing dari Komunitas ARK Qahal atau Yayasan Qahal Family yang berbasis di Jakarta Barat kepada warga Muslim di sekitar Masjid Baba Alun, Tanjung Priok, Jakarta Utara, berakhir dengan perdamaian antara warga setempat dan pihak yayasan. Polisi pun menyetop proses hukum kasus tersebut dengan alasan "hanya kesalahpahaman".

Terlepas dari iktikad sebenarnya dari komunitas non-Muslim tersebut atau tudingan pelecehan agama dan keyakinan yang ramai dituduhkan, hal tersebut menunjukkan adanya kegagapan budaya dan mispersepsi bahasa antara kedua kelompok.

Di saat Yayasan Qahal ("Qahal" berarti "Gereja" dalam bahasa Ibrani kuno) sebagai pemberi bantuan memaksudkan sebutan "nasi anjing", dengan mengacu filosofi kesetiaan anjing kepada tuannya, sebagai bentuk kesetiaan sebagai sesama warga bangsa, pihak penerima bantuan justru mempersepsinya sebagai bentuk pelecehan agama dan keyakinan.

Bagi Muslim, anjing adalah hewan yang haram untuk dikonsumsi, terlepas dari isi paket nasi bungkus yang dibagikan berlauk cumi, sosis dan ikan teri, alih-alih daging anjing.

Jika pun alasan lainnya karena "nasi anjing" itu berukuran sedikit lebih besar daripada "nasi kucing" atau "sego kucing" yang sudah lazim dalam khazanah menu kuliner Indonesia, tentu tidak harus juga disebutkan secara harfiah sebagai "nasi anjing" yang berisiko terjadinya kesalahpahaman dan bahkan konflik serius di antara masyarakat Indonesia yang plural serta beragam keyakinan dan etnis.

Ratusan tahun silam, jauh sebelum kasus "Nasi Anjing" ini, dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, sebuah kesalahpahaman budaya justru mengakibatkan sebuah peperangan besar yang berdarah-darah.

Konon kabarnya, dalam salah satu versinya, Perang Trunajaya atau Trunojoyo di Madura antara Pangeran Trunojoyo melawan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Persekutuan Perusahaan Hindia Timur awalnya disebabkan oleh sebuah kesalahpahaman budaya.

Alkisah, VOC sebagai suatu perusahaan multi-nasional raksasa yang berbasis di Belanda saat itu ingin mengadakan kerja sama dagang dengan Madura. Diutuslah seorang perwakilan VOC untuk menemui Pangeran Trunojoyo sebagai salah satu penguasa Madura.

Sebagai bentuk penghormatan bagi tamu, Trunojoyo pun memperkenalkan istri dan anggota keluarganya kepada sang utusan VOC tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline