Lihat ke Halaman Asli

Aku Nggak Bisa Nulis Puisi Lagi?

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini aku suka nulis puisi. Aku juga suka baca karya-karya penyair terkenal. Puisi yang sering aku buat ya puisi balada. Puisi balada yang aku suka dari penyair WS Rendra, Balada Orang-Orang Tercinta. Selain itu, aku suka mengoleksi puisi-puisi lama, semacam angkatan 45-nya Chairil Anwar, Tebaran Mega-nya Sutan Takdir Alisjahbana.

Tapi dari kesekian itu semua, jujur saja, aku secara otomatis, hanyut dalam puisi-puisi lama tersebut. Entahlah, saat bikin puisi balada, misalnya, aku nggak sengaja bikin baitnya tuh terdiri dari empat baris, rata-rata gitu.

Dulu terakhir bikin puisi untuk lomba kayaknya tahun 2011, udah lama banget pas masa SMP. Kebiasaan nulis diksi puisi saat dulu itu ya dipengaruhi oleh penyair-penyair tersebut, tapi sebagian kecil aja sih.

Bisa dibedain lah, nulis puisi untuk lomba atau enggak. Jika untuk lomba, biasanya dikasih minimal bait, atau halaman folio (karena tulis tangan).

Nah, ceritanya sekarang aku sudah SMA nih. Lain lagi ceritanya.

Kemarin siang, aku dimintain tolong sama guru bahasa indonesiaku untuk bikin puisi dengan tema karakter bangsa. Kemudian, ditumpuk hari ini di sekolah. Ada sisa waktu beberapa jam ya, bisa dihitung dengan jari deh!

Aku akhir-akhir ini emang lagi baca buku Berkenalan dengan Puisi milik Prof. Dr. Suminto A. Sayuti, disana banyak contoh-contoh puisi (aku rasa) diksinya mudah dicerna, mungkin aku dipengaruhi buku itu (lagi)..ah entahlah.

Aku blank. Kosong deh. Mau nulis apa, nggak tahu. Tadi pagi bangun tidur langsung mencoba nulis puisi dengan tema tersebut. Aku pakai diksi sederhana lah, aku suka kesederhanaan. Puisiku aku rasa bukan puisi kenes (aku rasa). Ibuku bilang, nulislah jangan terpaksa, sebisa Mia aja..

Aku menulis pakai hati, tapi nggak maksimal banget. Aku sadar, kadar puitisku kok menurun ya? Dan itu terbukti kala diteliti oleh guruku. Diksinya ancur menurutku dan rimanya nggak manis. Enjambemen nggak ada. Puisiku berantakan banget ya?

Yang bikin aku terkejut, puisiku dibilang kayak puisi lama, dimana per bait itu rata-rata empat larik. Padahal, disuruhnya puisi baru. Aku nggak paham sama pernyataan tersebut! Aku ngerasa aku nulis puisi baru yang nggak terikat rima dan baris tuh ya? Dulu pas SMP, aku nulis demikian, kata guru SMPku boleh-boleh aja kok. Separah itukah aku sekarang sampai aku ngerasa aku nggak bisa berkata-kata lagi.

Tapi, setidaknya, selama ini aku berusaha pegang prinsip Taufiq Ismail, "Puisi menepuk bahu dan mencoba mengingatkan."

Apa aku nggak bisa nulis puisi bagus lagi?

Sebenernya apa yang mempengaruhi kadar puitis seseorang?

Prihatin.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline