Lihat ke Halaman Asli

Nur Rohmatus

Mahasiswi

Ayah-Ibu, Izinkan Dia yang Sederhana Ini Meminangku

Diperbarui: 24 Maret 2019   03:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayah-Ibu...

Maaf, semoga aku tidak lancang menulis surat ini. Aku tak pernah berani mengutarakan isi hati ini secara lisan, karena selama ini kita lebih senang berkompromi dan berbicara hal hal yang tak terlalu dalam, pun juga yang tak terlalu menguras perasaan.

Namun sudah saatnya aku angkat bicara kembali. Mungkin kalian telah menebak tentang apa. Bagaimana lagi ? Separuh hari hariku selama ini kuhabiskan bersamanya. Tidak membicarakannya sama saja dengan menganggap separuh hidupku tak pernah ada.

Ayah-Ibu...

Dia memang terlalu sederhana untuk bisa dibilang sempurna. Namun apakah kesederhanaannya layak jadi alasan untuk menganggapnya tak pernah ada ? Aku mengerti pentingnya masa depanku untuk kalian. Aku pun tak lupa, tetesan keringat kalian adalah upaya untuk membuatku bahagia.

Aku tahu sejak dulu, dia dan kita memang berbeda. Namun, Ayah dan Ibu tak pernah mengajarkanku untuk menghargai orang hanya dari satu sudut pandang. Aku memang belum terlalu mengenal dia, tapi setiap gerak geriknya perlahan mengambil perhatianku. Sejak awal aku selalu yakin bahwa Ayah dan Ibu akan menerima kehadirannya, namun semua berbanding terbalik. Semua yang kuyakini ternyata hanyalah angantetapi kebaikan dan ketulusannyalah yang selalu meyakinkanku untuk berjalan beriringan dengannya.

Pria yang bersamaku saat ini mungkin latar belakang kehidupannya jauh berbeda dari kita. Aku justru merasa terhormat bahwa ia mau bersamaku. Dengannya, hidup adalah urusan yang harus diperjuangkan. Memutuskan menghabiskan hidup dengannya sama dengan menggulung lengan bajuku dan siap berusaha. Tak mungkin aku mengemis kenyamanan pada Ayah dan Ibu lagi, seperti yang dengan mudah kudapat saat tinggal bersama kalian. Untuk hidup dengan nyaman, kami berdua harus berjuang.

Ayah dan Ibu mendidikku untuk cerdas dalam berpikir. Ibu tentu paham bahwa aku bukan perempuan bodoh yang mudah dibuat lupa daratan karena perasaan. Melihat kegigihanku meraih cita-cita, tekadku untuk menyelesaikan sekolah dan segera menyelesaikan skripsi, apakah Ayah dan Ibu masih mengecapku sebagai anak perempuan yang menghabiskan waktunya hanya untuk memikirkan cinta?

Sebelum menuliskan surat ini, aku telah menimbangnya berkali-kali. Melihat dan mengenal sosoknya membuat akal sehatku berkata dialah orangnya. Dia memang dari keluarga sederhana yang biasa saja. Sifatnya yang beridealisme kuat dan pekerja keras membuatku terpacu untuk tidak hanya sekedar berpangku tangan. Bersamanya aku tahu apa yang aku inginkan, dan bagaimana cara mendapatkannya.

Kalian mendidikku untuk mandiri. Takkan pernah aku lepas tangan dan membiarkan pasanganku berjuang sendiri untuk kami. Selain pendidikan dan kemampuan, kalian mendidikku untuk tak pernah berserah pada orang lain. Saat ini, aku tumbuh menjadi perempuan mandiri, meskipun suatu saat pria ini akan menjadi tulang punggung keluarga, namun aku tak akan sepenuhnya bergantung pada dia. Aku tak akan membiarkan ilmu yang kumiliki berhenti hanya karena telah berstatus istri.

Jika ada pria yang paling mencintaiku, sudah pasti Ayahlah orangnya. Mungkin jika kita harus membandingkan, cintanya padaku tak sebesar cinta Ayah. Apa yang telah ia korbankan tak akan pernah menyamai pengorbanan Ayah. Tapi soal masa depan, jangan ragukan tekadnya untuk berjuang. Suatu saat dia juga akan menjadi seorang ayah, dan sama seperti yang Ayah lakukan, dia juga berjuang demi kebahagian anak-anak kami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline