Lihat ke Halaman Asli

Menjemput Kematian Tom

Diperbarui: 29 Januari 2016   00:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: johnberty.wordpress.com"]

[/caption]Jika ada kesempatan nanti, aku ingin memeluknya dengan erat, agar pisauku tertancap ke jantungnya lebih dalam. Lalu, akan kuputar  searah jarum jam selagi mata pisau itu terhunus penuh dalam dirinya. Mungkin itu susah, tapi mungkin juga sakitnya akan luar biasa terasa.

“Ada opsi lain?” Kau bertanya menyelidik.

Mungkin juga akan aku hadiahi dia sekuntum bunga mawar dengan rekah penuh. Kuikat bersama dengan batu sebesar kepala bayi, dan akan kulempar keras-keras ke kepalanya yang menyimpan ketampanan itu.

“Hahahaa.... kau bercanda, kan?”

Tidak! Aku benar-benar mencintainya, tapi apa daya aku harus membunuhnya. Setidaknya, ia akan mati dipelukanku atau mati dengan rekah mawar dariku yang menyertainya. Aku sangat romantis bukan?

“Sinting kau!”

~0~

“Hai! Seharusnya kau meringis kesakitan. Mengapa kau justru tertawa?” Kekasihku, Tom bertanya gusar saat aku sibuk mengais darah yang tercecer di lantai kamar dan selanjutnya kutempelkan ke sprai tempat tidur untuk kujadikan tinta. Aku memang sedang ingin melihat darah. Dan tadi pagi, aku menyayat ujung-ujung jariku agar bisa kuhasilkan beberapa tetes darah.  Aku ingin menulis sesuatu dengan darahku sendiri.

“Ah, tidak. Aku hanya suka melihat darah. Kau tau kan?”

Aku meraih handphone di meja dan memotret bercak merah yang sempat kurangkai di sprei tempat tidur. Tom melihatku sedih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline