Lihat ke Halaman Asli

Ninoy N Karundeng

TERVERIFIKASI

Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Intoleransi di Jogjakarta Lunturkan Miniatur Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dulu. Ya. Dulu. Ngayogyokarto, atau Yogyakarta adalah wilayah penuh toleransi. Dulu. Ya. Dulu. Memang dulu sekali, semua agama dijaga dan dilindungi oleh Ngarso Dalem Sultan Hamengkubuwono, Sultan Jogjakarta sampai ke angka IX. Kini, Jogjakarta adalah kota penuh intoleransi kedua di Indonesia. Sangat disayangkan. Kenapa Jogjakarta berubah menjadi wilayah yang tak memiliki toleransi lagi? Mari kita tengok secara historis dan kultural toleransi dan intoleransi sejak zaman Mataram sampai kini menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta dengan hati gembira ria.

Data terbaru, tahun 2014 terjadi paling kurang 21 pelanggaran dan kekerasan dan intoleransi di Jogjakarta yang dilakukan oleh suatu ormas. Tak ada satu pun kasus kekerasan itu yang ditindaklanjuti dan dilakukan pembiaran. Hal ini sangat disayangkan dan merusak reputasi Jogjakarta sebagai miniatur Indonesia.

Sejarah terbentuknya Mataram dan kelanjutan atau sisanya Jogjakarta dan Solo, adalah perebutan kekuasaan melalui kekerasan. Sejak zaman Pajang dan Mataram para pemburu kekuasaan saling bersaing dalam intrik politik dan persekongkolan berupa pembunuhan. Membunuh menjadi alat bagi terbentuknya kekuasaan Mataram yang diarsiteki oleh Ki Panjawi, Ki Juru Martani, dan Ki Ageng Pamanahan.

Maka menjadi sangat menarik ketika Belanda datang menguasai sebagian besar Nusantara. Hampir semua kerajaan bertekuk lutut kepada Belanda. Hanya sedikit wilayah kerajaan di Nusantara yang mampu bertahan menjadi sebuah negara merdeka: salah satunya Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat, sementara Solo sudah menjadi budak Belanda dan kehilangan kedaulatannya sama sekali. Jogjakarta mampu menjadi sebuah negara yang makmur di bawah naungan Sultan Jogjakarta yang bergelar: Hamengkubuwono alias melindungi segenap tumpah darah berupa tanah air dan isinya rakyat di wilayah kekuasaan Sultan Jogja.

Sultan HB VIII mulai membangun peradaban dan menghentikan pembunuhan sebagai alat untuk berkuasa. Peradaban berbasis petani diubah menjadi peradaban ala priyayi dengan berbagai aturan dan tata-laku yang membuat Jogjakarta mendapatkan tempat lebih tinggi karena hanya sedikit kompromi dan mengabdi kepada Belanda - berbeda dengan Solo yang menjadi antek Belanda 100%.

Kemerdekaan dan kemakmuran Jogjakarta menjadi daya tarik perkembangan Jogjakarta yang dihuni oleh berbagai bangsa di Nusantara. Orang Arab, Ambon, Batak, Manado, Tionghoa, Makassar dan berbagai wilayah lain hidup di Jogjakarta. Maka Jogjakarta menjadi tempat hidup berbagai bangsa dengan karakteristik multicultural. Konsekuensinya, berbagai agama hidup di Jogjakarta. Toleransi terbangun dalam lingkungan budaya Jogjakarta. Bahkan untuk menghormati semua pemeluk agama, Sultan Jogajakarta tidak menunaikan ibadah haji. Hanya Sultan HB X saja yang menunaikan ibadah haji.

Sultan sebelum HB X, Sultan HB IX sangatlah komit terhadap kehidupan multi-agama dan kepercayaan. Semua agama dan keyakinan dan kepercayaan dilindungi oleh Ngarso Dalem dalam khasanah demokrasi dan perlindungan dan penghargaan kepada semua penganut agama dan kepercayaan. Maka, toleransi menjadi hal yang sangat dijunjung tinggi dalam lingkungan kehidupan bangsa Jogjakarta.

Jogjakarta selama puluhan tahun dijuluki sebagai Kota Pelajar, menjadi tempat berkembangnya usroh, LDII, Islam Jama'ah, penghayat kepercayaan, dan juga kegiatan berbagai agama seperti Katolik, Kristen, Islam Ahmadiyah, dan pusat perkembangan organisasi kemasyarakatan dan politik lainnya.

Reformasi 1998 mendatangkan radikalisme Islam dengan terbentuknya Laskar Jihad dan FPI. Jogjakarta yang telah lama menjadi home ground gerakan usroh lewat para mahasiswa di Jogjakarta - banyak mahasiswa luar daerah Jogjakarta menetap dan mengubah karakter Jogjakarta. FPI menancapkan kuku kuatnya di Jogjakarta.

Pada saat bersamaan kehadiran kelompok agama radikal yang dipimpin oleh FPI telah memengaruhi kebudayaan dan kehidupan Kraton Jogjakarta. Berbagai tradisi yang sebelumnya dipelihara, mulai ditinggalkan oleh Kraton Jogjakarta. Kraton Jogjakarta berkompromi dengan tekanan kelompok radikal yang semakin dominan. Sultan Jogjakarta HB X sebagai Pepunden gagal melindungi semua kelompok yang berbeda agama dan kepercayaan.

Kerukunan umat beragama yang terjaga selama masa kolonial dan pada zaman eyang saya Presiden Soeharto terkoyak. Kini Jogjakarta menjadi tempat berseminya radikalisme dan intoleransi yang Sultan HB X melakukan pembiaran atas nama kekerasan beragama. Kenapa?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline