Lihat ke Halaman Asli

Nia Rahman

In Communication We Trust

Najwa Shihab dan Maudy Ayunda, antara Kodrat dan Stigma Masyarakat

Diperbarui: 31 Mei 2022   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Momen saat Najwa Shihab dan Maudy Ayunda saling menyetujui pernyataan terkait senang dengan ujian. (sumber: HO/Catatan Najwa via tribunnews.com)

Najwa Shihab dan Maudy Ayunda adalah dua nama yang belakangan menjadi icon perempuan pendobrak patriarki di Indonesia. Najwa Shihab, putri ulama besar Indonesia tampil sebagai jurnalis perempuan yang disegani politisi yang biasanya didominasi  laki-laki. 

Ia juga percaya diri menampilkan personality-nya, tanpa gamis dan penutup kepala, tanpa khawatir akan pandangan publik mengingat latar belakang keluarganya.

Maudy Ayunda, diawal kemunculannya dikenal sebagai public figure. Ia berhasil tampil sebagai artis yang  mematahkan stigma public figure hanya modal tampang. 

Di puncak karirnya, Maudy justru memilih tenggelam dalam studinya. Ia mendapatkan gelar sarjana untuk jurusan Philosophy, Politics, and Economic (PPE)di Oxford University, yang kabarnya jurusan sulit dengan saringan masuk yang ketat. 

Sempat heboh saat ia datang membagikan kabar galau saat hendak melanjutkan program magister, karena diwaktu bersamaan diterima di 2 kampus ternama, Harvard dan Stanford.

Diam mengejar prestasi, bergerak menggelar resepsi. Demikianlah kalimat popular dikalangan netizen belakangan ini untuk menggambarkan seorang Maudy Ayunda. Se Indonesia heboh karena secara tiba-tiba Maudy melepas masa lajangnya. 

Tak tanggung-tanggung, sang suami pun bukan kaleng-kaleng. Setidaknya, sesama jebolan Harvard, sudah dapat diramalkan seperti apa keturunannya kelak. Inilah generasi emas yang sesungguhnya.

Najwa dan Maudy, bukannya tak pernah jadi sasaran nyinyiran netizen. Najwa pernah dihujat gara-gara tak bisa memasak dan dianggap menyalahin kodratnya sebagai perempuan. 

Maudy pun pernah dinyinyiri, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujungnya ke dapur juga. Yang anehnya, nyinyiran itu ternyata juga datang dari kalangan perempuan. Sungguh berat menjadi perempuan, bukan hanya patriarki yang menjadi penghalang, namun sesama perempuan pun saling menghakimi.

Pada akhirnya, satu hal yang harus kita terima bersama, terlahir sebagai perempuan itu ternyata nggak mudah. Perempuan akan selalu dihadapkan pada pilihan: menjadi liyan dengan melawan arus atau pilih aman mengikuti arus. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline