Lihat ke Halaman Asli

Neno Anderias Salukh

TERVERIFIKASI

Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Kasih, Bentuk Toleransi Tertinggi dalam Ajaran Kristen

Diperbarui: 19 Desember 2022   11:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi: Saya, Kak Hadjar dan teman saya di Acara Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Babul Amin Falas.

"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Matius 22:37-39)

Dasar dari moderasi beragama atau toleransi beragama dalam Kekristenan adalah kata-kata Yesus dalam Kitab Matius 22:37-39 itu. Perkataan Yesus dalam ayat tersebut adalah perintah untuk Mengasihi Allah dan perintah untuk Mengasihi Manusia.

Menurut Santo  Thomas Aquinas, seorang Frater Dominikan berkebangsaan Italia, dalam bukunya yang berjudul Summa Theologicha, ia mengatakan bahwa "Mengasihi Allah" adalah bentuk "Persahabatan manusia dengan Allah" yang "Mempersatukan manusia dengan Allah".

Di sisi lain, "Mengasihi Sesama Manusia" adalah implikasi dari "Cinta Kepada Allah" dengan mencintai sesama kita, musuh sekalipun (Matius 5:44). Sebab sebagai Pencipta, Tuhan tahu bahwa umat manusia beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dengan tujuan agar kehidupan menjadi dinamis, saling belajar, dan saling mengenal satu sama lain.

Mengasihi dengan benar berdasarkan pengenalan yang baik dan sebaliknya akan membuat seseorang cenderung lebih mengasihi. Mengenal Allah akan membuat kita cenderung mengasihi Allah dan mengenal sesama kita manusia akan membuat kita cenderung mengasihi mereka.

Akan tetapi, terdapat ada beragam penafsiran atas ajaran agama yang tidak bisa dihindari, khususnya ketika berkaitan dengan praktik dan ritual agama. Umumnya, masing-masing penafsiran ajaran agama itu memiliki penganutnya yang mengaku dan meyakini kebenaran atas tafsir yang dipraktikkannya.

Maka kesalahan penafsiran terhadap ritual dan praktik agama pun tak terhindarkan sehingga mengakibatkan kekerasan bermuatan agama kerap terjadi. Hal ini pun dapat memicu konflik besar-besaran mengatasnamakan agama yang sejatinya mengajarkan banyak hal kebaikan (Moderasi Beragama, Kemenag 2019).

Berangkat dari hal tersebut, organisasi-organisasi Kekristenan terus berupaya untuk melakukan banyak aksi nyata untuk menghidupkan toleransi beragama di Indonesia. Salah satu yang pernah diikuti oleh penulis adalah Semi-lokakarya "Mengelola dan Memaknai Perbedaan Dalam Kemajemukkan Masyarakat"  pada tanggal 11-13 Desember 2019.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) sebagai salah satu organisasi Gereja Suku di Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerjasama dengan Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) dan Institut Dialog Antar-Iman di Indonesia (Institut DIAN/Interfidei).

Lokakarya ini menghadirkan pendeta-pendeta yang bertugas di gereja-gereja dengan lingkungannya yang majemuk baik yang berbeda secara suku, agama maupun ras. Selain para pendeta, saya sebagai guru sekolah minggu ditugaskan oleh pendeta untuk menggantikan posisinya untuk menghadiri kegiatan tersebut, yang tentunya berasal dari lingkungan yang majemuk itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline