Lihat ke Halaman Asli

Nenden Rikma Dewi

What you seek is seeking you. (Rumi)

Metaverse: Bermula Imajinasi, Akankah Membuat Delusi?

Diperbarui: 2 Januari 2022   21:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi penggunaan virtual reality bagi para pengunjung museum (Lucrezia Carnelos via Unsplash)

Pernahkah kita mengunjungi museum dan tidak sepenuhnya mengerti tentang deskripsi yang dituliskan dalam papan informasi dan informasi sejenis lainnya? Di Indonesia ini sayangnya belum ada ya. Padahal, banyak tempat di negara-negara maju menggunakan realita maya dimana para pengunjung dapat mendapat informasi bahkan mendapatkan pengalaman seolah berada di dalam karya tersebut.

Kita juga menonton bagaimana Tony Stark mencipta dan memakai teknologi sejenis dalam Iron Man bahkan jauh lebih mutakhir karena memadukan internet, realita maya (virtual reality), realita tambahan (augmented reality) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) bernama Jarvis. Ada kalanya semua ini terkesan seperti sebuah imajinasi belaka bagi beberapa orang, namun kenyataannya adalah satu hal yang ada di depan mata.

Internet dan teknologi menawarkan dunia baru bagi umat manusia sehingga muncullah beragam teknologi yang perlahan mengubah persepsi kita tentang realita. Kita mungkin akrab dengan istilah virtual reality (VR) yang dipopulerkan oleh Jaron Lanier di tahun 1980an, begitu juga augmented reality (AR). 

VR diciptakan oleh seorang pakar komputer, Ivan Sutherland, dan muridnya, Bob Sproull. Sementara AR diciptakan oleh dua orang peneliti Boeing, Tom Caudell dan David Mizell. Jika melihat siapa penciptanya, dapat kita pahami teknologi semacam ini dikembangkan oleh berbagai industri dan medis yang melibatkan komputer dan pencitraan.

Google  berani memproduksi Google Glass di tahun 2013 dengan harga cukup tinggi meski hanya bertahan sesaat. Berikutnya beragam VR headset yang digunakan untuk kebutuhan tertentu muncil , khususnya video game seperti yang dikeluarkan oleh Playstation.

Belakangan dengan ramainya Facebook berubah nama menjadi Meta sebab menurut Mark Zuckerberg ke depannya fokus pada metaverse alias meta universe, sebuah semesta digital yang mereplika dunia nyata dengan keberadaan tanah, bangunan, dan sebagainya. Konon gagasan ini memang sudah lama muncul melalui karya sastra fiksi ilmiah. 

Penggunaan VR Headset semakin populer dengan rilisnya novel Ready Player One (Ernest Cline) di tahun 2011 dan diadaptasi menjadi sebuah film oleh Stephen Spielberg di tahun 2018. Sehingga rasanya tidak dapat dinafikan para gamers sudah sangat familier dengan jenis semesta seperti metaverse.

Namun apakah metaverse, yang menurut Zuckerberg baru akan terealisasi 5 tahun mendatang, ini sebuah hal yang menguntungkan kita sebagai pengguna awam atau justru merugikan? Perhatian saya justru tertuju tidak pada aspek ekonomi dan geopolitik, melainkan aspek psikologis atau persepsi kita tentang dunia.

Dengan adanya media sosial saja, permasalahan terkait kondisi mental seperti depresi, gangguan kecemasan, gangguan tidur dan lainnya meningkat di masa pandemi ini. Mereka, bahkan mungkin kita, cenderung menarik diri atau menghindari interaksi sosial secara langsung demi kesehatan.

Persepsi secara sederhana adalah cara kita memahami suatu objek, gagasan atau lingkungan sekitar berdasarkan pada hasil interpretasi dan evaluasi dari pengalaman panca indera. Perubahan persepsi dapat terjadi bergantung kepada asupan informasi yang diterima.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline