Lihat ke Halaman Asli

Hentakan Penyadaran

Diperbarui: 16 Oktober 2018   13:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pemuda Al Ghazali berkelana ke berbagai negri untuk mengarungi ilmu. Saat perkelanannya, sang penyamun merampas tasnya. Al Ghazali, meminta tasnya kepada penyamun, "Silahkan ambil seluruh isinya, kecuali buku." Namun penyamun tak mau memberikan.

Al Ghazali terus meminta bukunya. Penyamun berkata, "Ada apa dengan buku itu?" Al Ghazali menjawab, "Di buku itu dia mencatat seluruh ilmu yang dipelajarinya." Penyamun berkata, "Ilmu itu ditaruhnya di jiwa bukan di buku." Terhenyaklah Al Ghazali, atas  kekeliruan. Benar, ilmu itu harus bersemayam di jiwa bukan di tulisan. Itulah yang merubah perjalanan hidupnya.

Pemuda Syafii sangat gemar bersyair. Saat sedang bersyair di perjalanan, seseorang yang berwibawa berkata, "Nak, seandainya kecerdasan mu digunakan untuk menuntut ilmu Fiqh tentu akan lebih bermanfaat." Kalimat ini yang membuat Syafii berkemauan keras untuk belajar ilmu pada imam Malik. Satu hentakan yang merubah haluan hidupnya.

Pemuda Hamka sangat gemar membaca hikayat. Setiap hari bergelut dengan bacaan hikayat. Suatu senja, saat membaca hikayat, sang Ayah berkata, "Nak, kamu ingin menjadi tukang cerita atau ulama." Setelah itu ayahnya pergi. Hamka terhenyak, kejadian itulah yang memberikan perubahan besar padanya. Kemudian dia bergelut ilmu ke Jawa dengan HOS Cokroaminoto dan Mekkah.

Satu nasihat terkadang sudah cukup untuk menyadarkan. Ada yang harus beberapa nasihat. Bahkan berlembar-lembar nasihat. Semua tergantung kejernihan hati saat itu. Atau apakah akalnya mau berfikir? Sebuah nasihat bisa merubah haluan hidupnya menjadi luar biasa. Apakah semua jiwa manusia seperti itu?

Ikrimah bin Abu Jahal dan Abu Sofyan ternyata tidak seperti itu. Setelah menelan kekalahan di Badar, Khandaq dan terakhir Mekkah bisa ditaklukan. Barulah sadar. Bahkan Ikrimah bin Abu Jahal menjadi buronan terlebih dahulu baru tersadarkan, kemudian dia menjadi pahlawan perang Yarmuk saat penaklukan Persia.

Saat nasihat tak bisa menyadarkan beragam kesulitan dan kehancuran menderanya. Seberapa kesulitan tergantung kemauan merubah dirinya. Bagi yang hatinya tetap keras, saat azab sudah menimpanya barulah tersadarkan. Itulah kekerasan hati yang paling keras. Itulah kegelapan hati yang paling pekat.

Namun saat berita bencana bermunculan. Masih ada saja yang berbicara bahwa gempa bumi yang terjadi di Nusantara bukan karena dosa dan syirik, tetapi karena Nusantara dikelilingi oleh pusat cincin gempa? Sebegitu keraskah hati kita?

Bila bencana belum bisa menyadarkan, Apa lagi yang bisa menyadarkan? Mungkin hanya kematian.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline