Lihat ke Halaman Asli

Nana Supriatna

Guru Pemerhati Pendidikan, Literasi dan Sastra

Rumah Duka

Diperbarui: 23 September 2022   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu waktu dirumah duka, aku duduk terdiam ditempatku dengan pandangan menatap kosong tubuh terbujur kaku yang ditutupi kain. Orang-orang berpakaian hitam berkumpul layaknya semut yang menemukan gula. Mulutku terdiam namun aku tak bisa menutup telinga dan mataku atas apa yang kudengar dan kulihat, sepasang tubuh yang saling berpelukan, jeritan isak tangis yang saling bersahutan, dan seseorang yang terdiam dengan bahu bergetar disudut ruangan membuat hatiku ikut teriris. Mataku tiba-tiba mengabur, aku merasa ada genangan air dikedua kelopak mataku yang tanpa kusadari menetes begitu saja. Dengan cepat aku mengusap tetesan yang mengalir dipipiku itu lalu berjalan keluar karena jika terus berada didalam aku tak yakin apakah aku masih bisa menahan tangisku.

Diluar aku menemukan teman-temanku duduk dengan para pelayat lainnya dibangku plastik. Aku menghampiri mereka dan bergabung duduk bersama mereka dibangku kosong yang masih tersisa. Wajah teman-temanku tak jauh beda dariku, terlihat lesu dan tak bersemangat namun saat aku menghampiri mereka senyum tipis mereka berikan padaku yang aku balas serupa. Aku tahu betapa sedihnya mereka karena aku pun merasakan hal yang sama. Ibu dari teman kami, Ara, meninggal dunia hari ini. Hal itu menjadi kabar duka yang kami terima ketika jam pelajaran masih berlangsung pagi tadi, alhasil sepulang sekolah aku dan teman-teman sekelasku berbondong-bondong datang melayat dengan masih memakai seragam sekolah.

"Ara gimana?" tanya temanku, Irma.

"Dia masih dikamarnya," jawabku yang diangguki oleh Irma.

Kami kembali diam. Entah mengapa kekosongan mengisi perasaanku, seolah-olah ramai yang tercipta tidak berarti apa-apa bagiku. Semua terasa begitu menyakitkan seakan aku yang mengalami semua ini, melihat Ara yang terus menangis membuatku semakin merasa takut akan kehilangan seorang Ibu yang selalu menemani hari-hariku.

"Hidup tanpa seorang Ibu adalah hidup paling menderita, Nis," ucap Irma tiba-tiba. Aku menatapnya penuh tanya sedangkan Irma memberiku senyuman tipis lalu kembali menatap kosong kedepan."Satu hal yang akan kamu rasakan setelah kehilangan adalah kesepian. Mungkin sekitar kamu ramai, tapi ramai itu tidak akan mendamaikan hatimu."

Irma sudah tidak mempunyai Ibu. Ibunya meninggal dunia ketika ia masih berusia sepuluh tahun karena penyakit jantung yang dideritanya, itu yang Irma ceritakan padaku dulu. Jelas Irma lebih tahu apa yang dirasakan Ara sekarang dari pada aku, Irma lebih mengerti rasa kehilangan dan Irma terlanjur paham bagaimana hidup tanpa seorang Ibu disisinya lagi.

"Sepi Nis, sepi," ujar Irma dengan suara serak yang terdengar menyakitkan membuatku menelan saliva dengan dada sesak."Sepi setiap aku pulang sekolah hanya keheningan yang menyambutku datang. Sepi ketika malam hari hanya detak jarum jam yang menemaniku menonton TV diruang keluarga. Sepi ketika aku terbangun ditengah malam namun tak menemukan siapa-siapa. Tanpa Ibu barang-barang dirumah terlalu banyak menyimpan debu, tanpa Ibu halaman rumah terlalu banyak menampung dedaun yang jatuh dan tanpa Ibu hidupmu selamanya akan tetap terbelenggu pada rasa sakit."

Tangisku pecah saat itu juga, aku memeluk Irma dari samping, membiarkan temanku itu menangis dalam pelukanku. Terlalu menyakitkan mendengarnya menceritakan kisah hidupnya setelah Ibunya tidak ada lagi disisinya. Hal itu semakin membuatku takut, semakin takut dan rasa takut ini tak bisa aku gambarkan dengan jelas bagaimana rasanya. Mungkin seperti kamu berada didalam kegelapan tanpa ada sedikitpun cahaya, tanpa tahu apa yang akan kamu temukan dalam gelap itu dan tanpa tahu ada apa saja didalam kegelapan itu.

Hari itu aku ikut kepemakaman saat hari sudah sore, Ara ada diantara aku dan Irma. Meski Ara tak menangis namun aku bisa memastikan bahwa hatinya berbanding terbalik dengan ekapresi wajahnya yang terlihat tegar. Aku yakin Ara rapuh, aku yakin Ara sedih dan aku yakin rasa sakit itu tak akan pernah bisa terobati oleh apapun didunia ini. Karena seperti yang Irma katakan bahwa hidup tanpa Ibu adalah hidup paling menderita.

Kini tanah merah itu sudah menjadi gundukan yang diatasnya terdapat taburan bunga dan batu nisan. Satu per satu pelayat mulai meninggalkan pemakaman menyisakan aku, Irma dan Ara yang terdiam menatap batu nisan didepannya. Ara mengelus perlahan batu nisan yang terdapat nama Ibunya disana, kedua sudut bibirnya tertarik keatas lalu menunduk dan menangis terisak disana. Suara tangis Ara terdengar menyakitkan membuatku dan Irma saling pandang tak tega dengan air mata yang sudah menetes deras. Aku berjongkok disamping Ara lalu memeluk perempuan itu begitupun Irma dan disana, didepan gundukan tanah merah yang masih basah dengan gerimis kecil kami menangis bersama. Ara yang kami kenal sebagai sosok dewasa pemberi nasihat, menangis tersedu disudut ruangan tanpa satu pun orang melihat. Ara yang terlihat tegar menunduk dengan isak tangis yang coba ia redam agar tak ada orang yang tahu. Dan Ara yang dikenal sebagai sosok periang harus menerima kenyataan bahwa selama sisa hidup yang harus dijalaninya ia tidak akan lagi melihat Ibunya. Tidak akan lagi memakan masakan Ibunya, tidak akan ada lagi yang membangunkannya untuk pergi kesekolah dan tidak akan ada lagi yang memberinya senyum hangat menenangkan. Aku terus memeluk Ara, menenangkannya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja meski aku sendiri tak yakin akan hal itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline