Lihat ke Halaman Asli

Nana Cahana

Menekuni literasi, pendidikan dan sosial

Meski Menjadi Alumni, Tetaplah Santri

Diperbarui: 29 Oktober 2021   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi santri-santri milenial. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Sebagaimana menjadi siswa sekolah formal, menjadi santri itu pilihan.  Tidak semua anak berkeinginan menjadi santri bahkan jika orang tuanya memaksa untuk mondok. 

Hal pertama yang dibayangkan adalah jauh dari orang tua, saudara dan sanak famili lainnya. Belum lagi ada anggapan bahwa santri itu kuno dan ketinggalan zaman.

Dari sisi kemajuan teknologi sepertinya santri tidak mengikuti tren sebab penggunaan handphone pribadi tidak diperkenankan di pesantren. Namun bukan berarti santri ketinggalan kemajuan teknologi. Santri tetap bisa menguasai IT (Information Technology) sebab ada bimbingan pemanfaatan IT di pesantren.

Justru menjadi santri itu unik. Santri hidup dalam lingkungan asrama, sekolah, tempat bermain, olahraga, mengaji, dan beribadah dalam satu komplek yang tidak terpisah. 

Boleh dikatakan kehidupan pondok pesantren mengadopsi kehidupan rumah namun dengan jumlah anak yang banyak dan denga berbagai karakter berbeda-beda . Ada santri rajin, ada yang malas, ada yang acuh, ada yang hanya mengikuti arus yang penting di pondok.

Bagaikan pendidikan keluarga, sang kiai adalah ayahnya, sang nyai adalah ibunya, ustaz-ustazah adalah saudara tertuanya, pengurus pesantren adalah saudara yang lebih muda dari ustaz dan ustazah. 

Lingkungan kelurga benar-benar dibangung seirama dan satu tujuan dalam kebersamaan di pondok pesantren. Bahkan ketika ada yang melanggar satu kamar, yang lain ikut terdampak imbasnya. 

Bisa jadi yang lain terkenan hukuman akibat satu orang yang melanggar. Namun ada kebersamaan yang tak terlupakan dari kejadian tersebut.

Di sisi lain, ketika salah satu santri mendapatkan kiriman makanan, santri tersebut tidak sungkan berbagi dengan teman-temannya. 

Bahkan jika tidak ada uang, santri saling meminjam. Uniknya terjadi kebersamaan terjadi dalam segala situasai; dalam suka dan duka, dalam perkara remeh dan penting. Ada kesan lucu, ada kesan sedih yang takkan terlupa. Segala benda yang bisa dimanfaatkan untuk menggantikan benda aslinya biasa digunakan santri. 

Tidak ada gelas, piring menjadi wadah  air untuk diminum. Tidak ada baskom, ember pun menjadi wadah pembuatan mie instan untuk makan bersama saat berkumpul konsulat (himpuann beberapa daerah) ataupun paska tahajud malam bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline