Lihat ke Halaman Asli

Aslıhan Gül

Content creator

Filosofi Berbuat Baik tanpa Menjadi People Pleaser

Diperbarui: 2 November 2022   21:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Dokumen Pribadi)

Memasuki era dirubsi media, kemudahan mengakses informasi banyak berkontribusi dalam membentuk kesadaran masyarakat. Salah satunya adalah topik mental health. Walaupun pada akhirnya banyak yang menyebut generasi sekarang dengan istilah generasi strawberry. Generasi yang dianggap sedikit-sedikit rapuh, karena mendiagnosa diri sebagai anak yang salah pengasuhan atau terjebak di lingkungan toxic.

Terlepas dari itu semua, ada acungkan jempol untuk generasi sekarang yang lebih peka terhadap persoalan mental health. Bukan karena merasa ada "kekurang tepatan" dalam pengasuhan, namun lebih kepada mampu mendefinisikan apa yang mereka rasakan. 

Generasi sebelumnya pun juga tidak sedikit yang mengalami persoalan mental health, namun mereka kesulitan dalam mendefinisikan hal tersebut. Generasi yang lebih memilih berdamai dengan masalah pengasuhan karena tantangan lain yang lebih menyita perhatian, seperti situasi politik dan ekonomi masa itu.

Tidak bermaksud untuk berpihak kepada siapa pun, sebab setiap generasi memiliki tantangannya masing-masing, tetapi mencoba untuk melihat sisi yang jarang diperhatikan. Salah satu permasalahan mental illness yang sering dibahas di sosial media adalah people pleaser. Inilah yang akan coba kita kulik berikut.

People pleaser diartikan secara umum sebagai seseorang yang terlalu baik, sehingga selalu mengiyakan permintaan orang sekitar terhadapnya. Orang tipe ini bahkan rela menahan ketidakenakan meskipun kondisinya juga kesulitan. Ia tidak kuasa menolak permintaan apapun dari orang lain sehingga dirinya pun menderita. 

People pleaser sering memilih mengorbankan kebahagiaannya sampai-sampai membuat dirinya burnout. Kalau sudah begini, ia sangat rentan terhadap kondisi depresi, kelehan, bahkan stres berkepanjangan. Dalam kasus berbeda, mereka sering menjadi sasaran orang lain untuk dimanfaatkan karena kepolosannya. 

Oleh karena itu, kebanyakan people pleaser memiliki pemikiran bahwa orang lain juga baik sebagaimana dirinya. Kelemahannya yang paling menonjol adalah tidak dapat mengidentifikasi musuh di dekatnya. 

Maka dari itu, people pleaser juga dianggap sebagai salah satu pemicu persoalan mental. Masalah ini mendapat banyak sorotan dari pemerhati dan influencer karena penderitanya bukan hanya personal, namun komunal.

Treatment paling umum bagi para people pleaser adalah anjuran berani berkata "tidak". Teknik ini sangat manjur, meskipun pada awalnya sulit, namun setelahnya mereka akan terbiasa. Ketidaknyamanan hanya berlaku di awal, dan memang butuh latihan. Ini merupakan langkah awal sebagaimana seseorang ingin merubah habitnya. Diharapkan dengan berani mengatakan "tidak" people pleaser bisa fokus pada urusan yang lebih urgent dan yang sanggup ia lakukan.

Sayangnya, treatment berkata "tidak" itu menjadi narasi lunak dan multitafsir. Dari sinilah muncul masalah lain. Orang-orang individualis terbentuk karena mengabaikan persoalan orang lain yang membutuhkan bantuannya. Selanjutnya lahir tipe materialis, orang yang hanya mau membantu jika mengandung manfaat baginya.

Lantas, berbuat baik menjadi barang mahal yang langka penampakannya. Bukankah fitrah manusia bahkan sejak zaman dahulu saling membantu? Lalu, mengapa tiba-tiba menyusut kuantitasnya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline