Lihat ke Halaman Asli

Musri Nauli

Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Kritis

Diperbarui: 18 Desember 2018   16:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Yah, ayah ikutkan demo Soeharto dulu ?", tanya putra keduaku.. Mahasiswa akhir yang mulai kritis. Entah mendapatkan cerita dari sang ibu. Atau punya memori waktu kecil.

Ya. Aku ingat persis, ketika lahir tahun 1997, suasana hangat menumbangkan Soeharto begitu kuat. Entah rumahku sering disinggahi teman-teman buruh, teman mahasiswa ataupun teman-teman petani. Suasana kritis yang terus berlangsung hingga tahun 2000.

Jangan tanya suasana rumahku. Rame kayak pasar. Entah cuma sekedar "numpang" mandi, atau teman-teman yang langsung ke dapur untuk makan siang.

Rumah kontrakanku memang terbuka dengan kedatangan siapa saja. Mereka tidak canggung langsung ke dapur. Buka tudung saji. Kemudian makan tanpa beban. Biasanya istriku memang masak untuk orang banyak.. Jadi persediaan selalu cukup.

Bahkan seingatku, putraku pernah ikut demonstrasi "aksi petani" Empang Benao yang tertembak ketika paska kerusuhan PT. KDA.

Tentu saja beragai yel-yel yang sering disuarakan masih terekam dibenaknya.

Teringat ketika waktu aku lagi dirumah. Istirahat santai. Dengan entengnya dia mengambil kartun. Menulis kata-kata. Kemudian keliling rumah sembari teriak-teriak.. Dia lebih mengenal yel-yel "rakyat bersatu tidak dikalahkan" daripada lagu-lagu anak-anak. Seperti "Balonku ada lima", atau "Potong bebek angsa"..

Istriku cuma tersenyum.. "Nah. Lihat anakmu".

Sehingga merekam jejak memori waktu kecil kemudian membuat dia selalu kritis. Entah "mempertanyakan" larangan ibunya, mengeluarkan argumentasi yang logis. Bahkan hingga sekarang, masih mencak-mencak melihat plat mobil dinas yang bersilewaran di jalan raya. Terutama hari minggu atau nongkrong di swalayan.

Dia juga kritis dengan beasiswa untuk mahasiswa. Alasannya masih kuingat. "Kita tidak boleh menerima beasiswa. Itu hak orang lain. Nanti akan dicabut rejeki".

Atau dengan enteng dia melarang ibunya membeli gas 3 kg. Alasannya sama. "Itu bukan hak kita".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline