Lihat ke Halaman Asli

mulyanto

belajar sepanjang hayat

Cerpen | Cerai

Diperbarui: 8 Maret 2019   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber foto: alkhoirot.net

Ampuni hamba, yaa Allah, hamba ingin dicerai.

 "Di mana istrimu, Le?" tanya Ibunda mertua tergesa. Sebelum kujawab, kucium tangannya penuh takzim. Ibunda mertua terlihat gusar sehingga sepagi ini mengunjungi kami di rumah kontrakan di pinggiran kota. 

 "Di kamar, Ibunda," jawabku sambil kutunjuk ke arah kamar kami dengan ibujariku.

 Tanpa dipersilakan Ibunda mertua langsung menghambur ke kamar. Aku terpaku lalu badan ini merosot sendiri di dinding ruang tamu. Lamat-lamat kudengar Ibunda mertua mulai menasihati istriku penuh hati-hati. Beliau berbicara bagai berbisik. Tapi tetap saja aku mendengarnya dengan jelas.

 "Seorang istri itu mestinya banyak ngerem daripada ngegas, Nduk. Kamu remnya suamimu," itu nasihat ibunda mertua pada istriku. Kudapat mendengarnya dengan jelas obrolan itu dari luar kamar kontrakan kami. "Jangan main-main dengan kata cerai, sayang,"

 Istriku menangis. Juga Ibunda mertuaku menangis. Dari nanda bicaranya kuyakin mereka sedang menumpahkan airmata pagi ini. 

 Semalam atau belakangan ini memang istriku terlihat tak enak hati padaku. Mungkin banyak faktor tapi aku merasa aku tak salah. Semalam saat istriku tidur aku mencuri baca WAnya kepada Ibunya, Ibunda mertuaku.

 "Apa masalahnya to, Nduk?" Telisik ibunda mertua. "Semua bisa dimusyawarhkan, Sayang. Jangan sembarangan ngomong cerai. Kamu tahu sejak semalam waktu kamu WA Ibu, Kami nggak bisa tidur. Bapakmu sebenarnya mau ikut ke sini tadi. Tapi aku larang. Sebab kalau ada bapakmu mungkin makin runyam urusannya. Kamu yang sabar kenapa sih, Ayyina"

 Aku sejak awal memang sudah merasakan ketidaktenangan sebenarnya sejak peristiwa perjodohanku dengan Ayyina si putri Pak Ustad Rihdo, guru ngajiku itu. Meminang gadis yang nyaris hafidz Quran kupikir tepat. Namun salah. Itu mungkin kesimpulan yang tidak bijak. Tapi aku merasakan betul. Mestinya aku tidak menikahinya agar dia selepas lulus MA--setingkat SMA, dapat melanjutkan kuliah di Kuwait, dulu. Kadang kuliah dengan seabreg aktivitas organisasi bisa memasak mental seseorang. Sehingga ia akan matang dalam berkehidupan selanjutnya. Tapi inilah suratan takdir. Aku menikahi anak labil. Maaf ya istriku!

 "Aku capek sama Mas Sunoyo, Ibu," Ayyina akhirnya memuntahkan kata-kata itu setelah dari tadi hanya menangis dan menyimak nasihat Ibundanya. "Capek Ibu... Mas tak mencintaiku dia sibuk di luar, yang organisasinya lah yang workshopnya lah. Semua palsu. Dia menemui mantan pacarnya, Ibu. Dia menghianatiku, Ibu. Sakit..."

 "Sakit apa toh, Nduk?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline