Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Yusuf Ansori

Mari berkontribusi untuk negeri.

Perusakan Simbol Keagamaan, Berhasilkah Memprovokasi Kita?

Diperbarui: 27 September 2021   06:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Provokasi (Illustrasi: Ansor)

Sebagai orang desa yang terbiasa hidup rukun, saya suka "geli" menykasikan orang-orang sudah frustasi untuk memprovokasi kami. Ketika tidak berhasil mengadu domba antar komunitas keagamaan, ternyata ada yang berusaha memprovokasi dengan menyerang simbol-simbol keagamaan.


Di media massa, kita bisa menyaksikan bagaimana seorang penceramah diserang kemudian rekamannya tersebar. Ada lagi yang membakar mimbar masjid, Al-Qur'an yang terekam CCTV di Makassar. Ada yang menembak seorang Ustadz tanpa motif yang jelas. (Sumber: MetroTV dan TV One)

Nah, ketika pertama kali saya menyaksikan tayangan kejadian tersebut maka hal pertama yang terlintas dalam pikiran adalah ini hanya usaha provokasi. Walaupun pendapat saya belum tentu terbukti, tetapi itulah yang tersimpulkan karena kejadiannya menghebohkan. Tidak lama kemudian, perasaan "geli" itu terlintas dalam hati.

"Geli" karena saya tidak habis pikir betapa segitunya orang mau memprovokasi warga negeri ini. Apakah mereka sudah kehabisan akal?

Tindakan provokatif _terlepas apakah motifnya untuk memprovokasi atau tidak_ nampaknya sengaja menyasar simbol-simbol penting dari komunitas keagamaan. Ketika melihat simbol keagamaan seperti masjid dan ulama diusik maka wajar akan ada yang terprovokasi. Kemudian, menuduh komunitas lain yang melakukannya.

***

Kali ini, kegelian saya semakin bertambah ketika ada salah seorang pelaku itu mengaku sebagai "komunis". Hei Bung, kelakuan Anda terlalu terlihat rekayasa!

Mungkin mereka berpikir jika "komunis" bisa dibenturkan dengan kaum "agamis". Tapi, mereka agak lupa jika rasa keberagamaan masyarakat kita mulai menggunakan akal sehat. Kabar baik buat saya ketika banyak umat beragama yang tidak membabi buta. Mereka masih bisa menempatkan mana permasalahan hukum yang harus ditangani Kepolisian.

Dan, kabar baik pula ketika masyarakat kita sudah bisa membedakan mana simbol komunitas keagaamaan dan rasa keberagamaan itu sendiri. Sehebat apapun simbol belum benar-benar mewakili subtansi yang dia wakili.

Ya, saya sih senang ketika manusia beragama bukan sekedar  mengedepankan simbol belaka. Mungkin karena informasi sudah sangat terbuka sehingga lambat laun orang pun belajar mana simbol belaka dan mana subtansi dari keberagamaan itu sendiri. Ketika sanggup membedakan itu, maka kita tidak mudah diadudomba oleh orang yang menginginkan kita bertikai.

Secara naluriah pun manusia sudah bisa membedakan, jika hal yang terindera tidak semata-mata menjadi hakikat benda itu sendiri. Sejarah mencatat bagaimana simbol bisa diubah begitu saja, tetapi hakikat keberagamaan itu tidak mudah diubah. Karena, ini dikembalikan kepada nalar manusia bukan hanya apa yang terlihat dari luar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline