Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Mustaqim

Peminat kajian sosial, politik, agama

Mahar Politik dan "Cacat" Demokrasi

Diperbarui: 14 Oktober 2018   11:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.beritasatu.com

Hingar bingar kampanye Pemilu 2019 sudah mulai kita rasakan. Masa kampanye disesaki rivalitas antar kedua kubu, yang sesekali diselingi kegaduhan politik. 

Salah satu kegaduhan yang sempat meramaikan kontestasi politik ini adalah tentang mahar politik. Sandiaga disinyalir mengondisikan partai pengusung dengan dana besar, 500 milyar untuk masing-masing partai. Mahar politik Sandiaga, menjadi bola liar yang sampai saat ini masih bergulir di badan pengawas pemilu.

Adalah Andi Arif, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat yang awalnya melontarkan bola liar ini. Melalui cuitannya, koalisi Prabowo-AHY runtuh oleh mahar politik yang digelontorkan kepada dua partai pengusung, PAN dan PKS. Bahkan dalam cuit "amarah"nya tersebut, Andi Arif mengatakan sang jenderal sebagai jenderal kardus. Terminologi kardus pun akhirnya ramai dibicarakan, bahkan sempat menjadi trending topic.

Fenomena ini sebenarnya semakin menegaskan bahwa mahar politik adalah nyata adanya. Di panggung depan, semua parpol tidak pernah ada yang mengakui adanya mahar atau biaya politik yang dibebankan kepada sang kandidat. Namun pada tataran panggung belakang, jual beli rekomendasi adalah sesuatu yang tidak dipungkiri lagi. 

Dan hal ini berlaku dalam konteks calon kepala daerah dan Calon Legislatif. Argumentasi  sebagai amunisi pemenangan dan kampanye barangkali bahasa yang sering dipakai untuk mengaburkan kecenderungan mahar politik ini. 

Anehnya, amunisi yang di luar jangkauan nalar ini seringkali mengundang pihak ketiga -- para pemodal -- untuk memainkan fenomena ini. Bayangkan, dari mana uang 500M yang digunakan untuk mahar politik dua partai ini? Mungkinkah uang sebesar itu adalah uang pribadi?

Ada beberapa dampak keberadaan mahar politik dalam sistem demokrasi. Pertama, mahar politik melahirkan politik biaya tinggi. Politik biaya tinggi ini, tentu saja melahirkan banyak madharat. Biaya politik yang tinggi, akan melahirkan kongsi politisi-pemodal, yang hal ini tentu saja memiliki efek samping: tersandra pada pemodal. 

Wajar jika ketika calon tersebut jadi presiden atau kepala daerah maka akan ada bayar hutang politik. Politik anggaran senantiasa "meminta restu" kepada para kongsi pemodal, sebagai balas jasa. Inilah mengapa banyak politisi dan kepala daerah yang terjaring kasus korupsi oleh KPK. 

Kedua, mahar politik menjadikan partai politik terbeli. Sebagai pilar demokrasi, partai politik merupakan elemen yang sangat menentukan dalam proses demokrasi. Lihat saja, tidak ada kontestasi politik yang tidak membutuhkan partai politik. Bahkan proses legislasi dan pembuatan peraturan undang-undang pun senantiasa melibatkan partai politik. 

Sampai sini, Partai diposisikan sebagai entitas demokrasi yang sangat signifikan. Ketika peran parpol sudah terdistorsi -- bisa dibeli -- maka kredibilitas Parpol sangat dipertanyakan. Sampai sini, demokrasi kita mengalami persoalan: salah satu pilarnya runtuh.

Ketiga, mahar politik akan melahirkan koalisi parpol yang terlibat di dalamnya hampa, kosong. Atau mengikuti terminologi yang sempat ramai, koalisi kardus. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline