Lihat ke Halaman Asli

Pemberontak Peta di Blitar 1945

Diperbarui: 28 April 2024   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemberontakan di Blitar dan daerah lainnya di Indonesia pada masa itu dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kebijakan penjajah Jepang, seperti eksploitasi sumber daya alam, kerja paksa, dan diskriminasi rasial. Peta sendiri adalah organisasi rahasia yang aktif dalam perlawanan terhadap penjajah Jepang. 

Mereka memilih Blitar sebagai salah satu tempat untuk melakukan aksi perlawanan karena alasan strategis atau mungkin karena adanya keberanian dan kesediaan penduduk setempat untuk melawan penindasan dan Salah satu fakta menarik tentang pemberontakan PETA di Blitar adalah peran penting yang dimainkan oleh tokoh-tokoh lokal dalam mengoordinasikan gerakan perlawanan. Beberapa tokoh seperti Soekotjo, Mochtar, dan Sudiro memiliki peran yang signifikan dalam mengorganisir para pemberontak dan memimpin serangan terhadap pasukan Jepang. Selain itu, pemberontakan di Blitar juga menunjukkan bahwa semangat perlawanan rakyat Indonesia tidak  terbatas pada satu tempat saja, tetapi tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Akhirnya pemberontakan peta di Blitar mencapai Pemberontakan PETA di Blitar yang mencapai puncaknya pada 14 Februari 1945 dipelopori oleh Supriyadi (ejaan lama: Soeprijadi). Ia adalah anggota PETA berpangkat shodancho. Dibentuknya PETA justru telah menghadirkan semangat nasionalisme dan sikap patriot di antara pemuda Indonesia, termasuk Supriyadi.

Supriyadi merasa resah dengan nasib rakyat Indonesia di bawah pendudukan pemerintah Jepang. Banyak orang yang dijadikan pekerja paksa (romusha), dibebani pajak tinggi, bahkan dirampas hasil pertaniannya. Perlakuan tentara Jepang terhadap kaum perempuan Indonesia juga menjadi alasan kebencian Supriyadi terhadap bangsa penjajah itu.

Di dalam PETA sendiri juga muncul perlakuan diskriminasi. Prajurit pribumi atau orang Indonesia diwajibkan memberi hormat kepada tentara Jepang, sekali pun orang Jepang itu berpangkat lebih rendah

Tanggal 14 Februari 1945 di Blitar yang menjadi tempat penugasan Supriyadi, aksi pemberontakan atau perlawanan PETA terhadap Jepang dilakukan. Beberapa tentara Jepang tewas akibat gerakan ini. Pasukan PETA pimpinan Supriyadi juga berhasil membawa banyak perlengkapan dan logistik, termasuk persenjataan.

Sayangnya, Jepang langsung bertindak cepat yang membuat Supriyadi gagal menggerakkan kesatuan lain untuk ikut bergabung dengannya. Jepang mengirim pasukan untuk memburu Supriyadi dan para pengikutnya.

Beberapa tentara PETA yang mendukung Supriyadi ditangkap dan diadili di Jakarta. Total ada 68 orang yang ditangkap, 8 orang dihukum mati, dan 2 orang dibebaskan. Namun, di antara mereka tidak ada Supriyadi.

Supriyadi menghilang saat Jepang mengerahkan pasukannya ke Blitar dan nasibnya masih menjadi misteri yang belum tuntas terjawab hingga saat ini.

Beberapa versi kemudian muncul. Ada menyebut bahwa Supriyadi gugur dalam pertempuran melawan Jepang, ada pula yang memperkirakan Supriyadi tewas diterkam binatang buas di hutan dalam pelariannya, namun ada juga yang mengatakan bahwa Supriyadi bersembunyi dari Jepang dan tidak pernah ditemukan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline