Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Benci Jokowi, Dari Otak Si Kaya ke Jemari Si Miskin

Diperbarui: 29 Juli 2021   04:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo (Foto: Antara Foto/Hafidz Mubarak A/ama, via kompas.com)

Mungkin karena menganggap artikel-artikelku pro-Jokowi, padahal sebenarnya kritik, seorang kawan bertanya,  "Apakah kau pecinta Jokowi?" Serta-merta kujawab, "Aku bukan pecinta Jokowi.  Memangnya aku lelaki apaan?  Aku masih normal."

Sadar sedang kuguyoni, kawan itu membuka masker lalu melotot, kemudian melengos dan balik kanan melangkah masuk warteg yang tetap buka di masa PPKM Level-4.  Sampai hari ini, aku tak paham, mengapa dia harus buka masker hanya untuk melotot.

Kawan itu seorang dari sejumlah buzzer pembenci Jokowi, Presiden RI yang masih berkuasa setidaknya sampai hari ini.  Walau komunikasi kami kerap korslet, karena beda kutub, tapi dia adalah narasumber yang baik ikhwal kebencian pada Jokowi.

Baru saja dia cerita, seorang temannya sesama buzzer pembenci Jokowi pingsan.  Sebab kepalanya terbentur  keras ke tembok rumah Pak RT saat rebutan bansos PPKM. Hebatnya, saat pingsan,  jari-jarinya tetap ligat bermain pada papan kunci henponnya.  Jemarinya mengetikkan status "Jokowi The King of Lip Service, The Guardian of Oligarch. Aku bersama Jokowi, tapi boong. Jokowi End Game!" Dahsyatnya kuasa kebencian!

Cerita takmasuk akal itu menyiratkan pemahaman berharga.  Pertama, bagi pembenci Jokowi, membenci Presiden Jokowi itu wajib hukumnya, tapi menikmati program-programnya juga wajib hukumnya.  Itu adalah hak sebagai rakyat.

Kedua, ini yang menarik, membenci Jokowi itu tak perlu menggunakan otak yang sadar.  Cukup menggunakan jari-jari tangan. Di ujung-ujung saraf jemari tangan mereka sudah tertanam memori ujaran-ujaran kebencian terhadap Jokowi. Begitu jemari disentuhkan pada papankunci henpon, otomatis akan bergerak mengetikkan kalimat-kalimat kebencian.  Tak perlu otak untuk mikir.

Kalau begitu pembenci Jokowi tak akan bisa disadarkan melalui adu argumen dan data.   Sebab persoalannya bukan pada otak di kepala.  Melainkan pada memori kebencian di ujung-ujung jemari tangannya.  

Hanya ada satu cara menghentikan jemari: Borgol!  Itu sudah terbukti.  Para pembenci Jokowi yang tangannya diborgol polisi, ternyata langsung pada kicep.

Lantas, bagaimana cara memori "benci Jokowi" bisa tersimpan di ujung jari para buzzer ? Nah, itu dipasok otak yang ada di kepala orang lain.  Di kepala sejumlah politisi dan tokoh sosial yang menyebut diri oposan.  Buzzer anti-Jokowi  hanya mengetikkan, atau mengujarkan ulang,  apa yang dikatakan oleh para tokoh oposan itu.

Sebuah contoh dari masa lalu.  Di depan gedung Kejaksaaan Agung RI, Jakarta pernah ada sekelompok massa berunjuk rasa menolak peredaran buku Karl Marx, Kapital (Das Kapital. Seorang wartawan menanya pemimpin lapangan unjuk rasa itu alasan menolak buku Kapital. Lantang dijawabnya, "Karena buku itu menganjurkan kapitalisme!"  Aih, mantap kalilah kau, kawan!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline