Lihat ke Halaman Asli

Kisah Pagi Februari di Kota Pelajar

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Adi, demikian nama yang ia gunakan. Lahir dari keluarga nelayan miskin di daerah pesisir Desa Sambelia yang berjarak sekitar 85 kilo meter dari Kota Mataram Lombok NTB. Bocah nelayan yang sempat bersekolah di sebuah madrasah swasta ini, kini merantau belajar di sebuah perguruan tinggi negeri agama di Kota Yogyakarta. Untuk menetap di kota pelajar tersebut, menjadi Takmir masjid adalah aktifitas kesehariannya selain menjadi mahasiswa aktif.

“Masih libur ya Le?” Sahut seorang wanita tua sambil mengatur botol-botol jamunya.

“Inggih Bunda sak iki masih Februari, masuknya Maret.” Adi menimpali.

Adi memiliki seorang tetangga wanita tua yang melakoni hidupnya sejak krisis moneter sebagai seorang penjual jamu gendong dan sering dipanggil Bunda oleh masyarakat sekitar.

“Terima kasih Bunda… kulo tidak tahu harus membalas dengan apa,” kata Adi disela-sela ia sedang menyapu masjid di pagi hari.

“Jangan berterima kasih kepadaku Le. Ini semua adalah rejeki dari Tuhan. Mudah-mudahan buku itu bisa sedikit berguna buat mu,” timpal wanita tua itu. Adi terdiam sejenak lalu menyahut,

“Seharusnya Bunda tabung menjadi penambah modal Panjenengan.”

Wanita tua itu membalas dengan senyuman dan berkata lembut,

“Bacalah Le.”

Adi dengan sesegera membolak balik halaman demi halaman buku itu, Adi memang terkenal sebagai seorang peresensi buku, dari sanalah ia mendapatkan uang tambahan untuk hidup di kota pelajar selama ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline