Lihat ke Halaman Asli

Menciptakan Arsitektur itu Seperti Membuat Tulisan!

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Susunan kata yang indah & mengalir tentu bisa menjadi sebuah prosa atau puisi yang menyenangkan untuk dibaca. Namun terkadang kata-kata dalam sebuah naskah tersusun sedemikian kompleks sehingga membuat bingung orang yang membacanya. Kita tidak tahu apakah penulis sengaja membuat demikian agar ia terlihat sebagai orang yang cerdas ataukah hal tersebut memang diperlukan untuk menjelaskan maksud penulis.

Saya mengamati kemiripan antara hal-hal di atas dalam dunia arsitektur. Membuat desain arsitektur dapat digambarkan seperti menyusun kata-kata menjadi kalimat & paragraf. Konsep bentuk & ruang sebagai elemen primer dianalogikan sebagai intisari dari sebuah naskah. Sedangkan elemen-elemen sekunder seperti warna, material, tekstur, & ornamen terhadap bangunan/lingkungan binaan dapat berperan seperti huruf & kata-kata dalam penyusunan kalimat/paragraf.

Walaupun menggunakan sedikit warna/material, sebuah bangunan dapat menjadi sebuah karya besar apabila didesain dengan konsep bentuk & ruang yang luar biasa. Sebaliknya seindah apapun warna/material yang dipakai tanpa diiringi usaha penciptaan bentuk & ruang yang baik, ia hanya akan menjadi sebuah katalog, indeks, atau kamus. Namun bukan berarti elemen-elemen sekunder boleh diabaikan. Sebagaimana seorang penulis berusaha memilih kata-kata yang tepat dalam membuat puisi, cerpen, novel, atau berita, maka demikian pula seharusnya seorang arsitek dituntut untuk cermat dalam memilih elemen sekunder yang sesuai sehingga konsep desain yang ia nyatakan dapat dipahami dengan baik oleh orang lain. Kita seringkali berkomentar atau membaca kritik terhadap suatu produk arsitektur yang menggunakan ornamen pada kondisi ekstrim, baik secara terbatas atau berlebihan. Adolf Loss dengan tegas menyatakan bahwa ornamen adalah sebuah kejahatan, sedangkan Mies van der Rohe terkenal dengan slogan "Less is More". Menurut saya, pertentangan kedua pendapat tersebut dapat disatukan apabila kita dapat memilih & menggunakan elemen-elemen sekunder tersebut pada tempat yang semestinya.

Terlepas dari subjektivitas & pro-kontra yang mewarnai dunia arsitektur, saya mencoba memilih beberapa nama arsitek terkenal sebagai contoh yang dapat mewakili penjelasan di atas. Diantara arsitek yang membatasi penggunaan elemen sekunder pada sebagian besar karyanya antara lain Richard Meier (warna putih), Tadao Ando (beton & baja), & Mies van der Rohe (baja & kaca). Sedangkan arsitek-arsitek yang banyak menggunakan elemen sekunder secara ekstrim antara lain Antoni Gaudi (ornamen), Peter Eisenman, Daniel Libeskind, & Zaha Hadid (strategi formalisme), serta Renzo Piano (ekspresi struktur & servis pada Pompidou Centre). Frank Lloyd Wright & Rafael Moneo saya pandang sebagai sosok arsitek yang sangat memperhatikan penggunaan elemen sekunder yang tepat sesuai lokalitas. Pada posisi pertengahan dari kedua kubu ekstrim, Rem Koolhaas serta Herzog & de Meuron menjadi wakil dari para arsitek kontemporer yang memiliki kapasitas untuk membuat kita terkejut dengan mengubah sesuatu yang biasa dengan menggunakan sebagian bentuk, material, & warna menjadi sesuatu yang luar biasa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline