Lihat ke Halaman Asli

M Iqbal M

Art Consciousness, Writter, and Design Illustrator.

KELUCUAN KAUM MISKIN KOTA: Ketika Depresi Tersulut Delusi dan Progresi.

Diperbarui: 20 Januari 2021   12:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: M.Iqbal.M

"In darkness, you feel no regret". --Asketism

Yang miskin adalah tuan-tuan pemiskin. Dan tubuh yang miskin telah dirasuki oleh nilai-nilai ciptaan tuan-tuan pemiskin. Kini si miskin bukan tidak mempunyai nilai, melainkan kelebihan nilai yang membuatnya ling-lung dan akhirnya depresi. Itu semua akibat hantu-hantu kebernilaian.

Siapapun yang mampu merasa, mungkin sepakat dengan ini. Bahwa yang terburu-buru untuk mencemooh orang-orang yang bertapa, sesungguhnya hanyalah tubuh yang masih berdelusi terhadap nilai-nilai. Ironisnya, tubuh itu tidak menyadari akan hal itu, bahkan justru mendaku bahwa sama sekali tidak mempunyai delusi terhadap nilai-nilai.

Itulah yang mengocok perut. Semacam slogan amorfati yang ditelan secara harfiah. Sehingga progresifitas sekedar berupa tragedi belaka. Sebuah progresifitas yang sesungguhnya tidak pernah berprogres. Sebuah progresifitas delusif nan infantil yang justru merepresentasikan kedirian yang memang pantas menjadi penyantap daki selokan, serta disantap oleh belatung-belatung ditempat umum.

Mungkin perasaan sedemikian ini juga yang dirasakan oleh Nietzsche. Nietzsche selalu melihat semuanya dari bilik panjangnya rentetan dan kedalaman jurang. Sehingga ia bertemu dengan formulasi kutukan terhadap ke-ada-an. Yang pada akhirnya ia merayakan hidup dengan mengutuk apapun yang menyerukan progresifitas-deprogrsifitas atas nama hidup. Itu artinya, adalah sebuah keserampangan belaka jika menyematkan vitalitas dan dionysian semata kepada kegilaan-kegilaan Nietzsche.

Inilah kami. Tidak seperti para pegiat dialektis tendesif berupa cemohan-cemohan bau terasi. Para pegiat yang tidak pernah bisa mencium aroma ledakan dari para pertapa yang berada ditepi tebing demi merapal dan meramal kediriannya sebagai pertapa. Pertapa yang mencerabut semua delusi, sehingga dapat mendeteksi entitas mana yang pantas menjadi godam, dan mana yang pantas menjadi pemadam.

Inilah yang kami namakan sebagai api askendensi. Sebuah api yang mencari apapun yang mampu kami cari. Kami ada bukanlah entitas dari bumi khayali ini. Kami adalah ketergelinciran dari siratan api-api metakosmis yang menyadari garis-garis kehambaran progresi beserta nilai tradisi yang terkebiri oleh pisau penolakan partisipasi dekadensi. Kami senantiasa mereteritorialisasi apapun yang menerpa kami. Tanpa membuka celah sedikitpun untuk monopoli hipnoterapi.

Mungkin ini yang bisa kami sajikan agar siapapun yang terburu-buru dapat mempertimbangkan kembali apa itu keterburu-buruan. Sehingga tidak mudah menjadi pemburu kenaifan. Sesosok pemburu yang sekedar menjadi profesi remeh-temeh, bahkan dengan kelalaiannya membakar pondok bambu yang sudah disediakan oleh para pertapa pengepul bara dari penyatuan antara kematian dan kehidupan.

Dengan susunan berbentuk metaforis pendek ini, agaknya kita semua bisa menyimpulkan bahwa hanya ada dua pilihan; meninggalkan atau ditinggalkan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline