Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Romli

Pelajar Yang Tak Kunjung Pintar

Cempor, Lentera, dan Cadok

Diperbarui: 7 Maret 2021   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Malam ini, pukul 21.44, listrik di rumah mati, terhitung sejak pukul dua siang, tanpa ada pemberitahuan apa alasannya. Berarti, ia sudah mati sekitar sepuluh jam. Gila! Jika saja kampung ini tempat industri sibuk, mungkin kantor PLN-nya sudah dibakar warga.

Saya cukup stres dibuatnya. Pasalnya, kedua ponsel saya dan ibu mati total sejak magrib. Ada beberapa orang yang harus saya kabari malam ini, namun apa daya, saya tak bisa berbuat apa-apa.

Meski beberapa tahun lalu saya dan orang-orang kampung terbiasa hidup malam bersama cempor-cempor kecil, kami tidak tahan jika berlama-lama seperti ini. Keterbiasaan itu sudah sirna diganti kenyamanan cahaya listrik.

Bersama sebuah lilin yang saya masukkan ke dalam gelas, lalu disimpan di atas buku-buku, saya mengingat-ingat kembali kenangan masa pralistrik di sini, di kampung ini.

Setiap sore, atau dua sore sekali, saya membeli minyak tanah untuk bahan bakar penerangan. Penerangan itu terbuat dari kaleng susu, kaleng ikan kemasan, atau kaleng-kaleng ukuran senis. 

Kaleng tersebut dilubangi bagian atasnya sebesar setengah lingkarang, atau sebesar perkiraan dapat dimasukkannya misnya ke dalam kaleng; intinya, sebagai lubang pengisian minyak. Tengah-tengah bagian atasnya, yang sisa lubang pengisian minyak, dilubangi kecil untuk dipasang pipa besi bekas pentilasi ban yang dijejali kain butut sebagai sumbu. Inilah cempor, alat penerangan rumah-rumah kami kala itu.

Karena cempor-cempor itu terbuat bakaran kain dan bahan bakarnya minyak tanah, maka atap atau apa pun yang ada di atasnya menjadi hitam. Bahkan, ada beberapa kain yang abunya beterbangan ke sana ke mari hingga terkadang hidung-hidung kami hitam dibuatnya.

Selain cempor, ada alat penerangan yang berbahan dan berpola sama, namun ini lebih elit dan lebih estetis; yaitu lentera. Lentera biasanya terbuat dari gelas tebal berbentuk yang sumbunya dapat diperbesar dan diperkecil seperti kompor sumbu, gelasnya bercorak bunga atau dedaunan. Lentera tidak mudah mati, tidak seperti cepor. Pasalny, lentera memiliki penahan angin terbuat adari kaca yang bernama semprong. Itulah yang membedakan lentera dari cempor, semprongnya.

Tidak banyak yang memiliki lentera, mungkin karena harganya tidak ekonomis atau semprongnya mudah pecah. Ia hanya dimiliki oleh orang-orang pilihan atau orang-orang yang tidak memiliki anak kecil di rumahnya.  Pun pedagang yang membawa lentera-lentera mungil nan lucu datangnya sekian bulan sekali. Tak jarang pedagang itu datang saat orang-orang tidak mempunyai banyak uang untuk mengganti cempor dengan lentera.

Jika cempor dan lentera adalah alat penerangan rumahan atau statis atau tidak bisa dibawa-bawa, ada satu lagi alat penerangan dari minyak tanah yang dinamis atau dapat dibawa ke mana-mana. Ia adalag cadok, ya, c-a-d-o-k.

Cadok adalah pendahulu dari benda yang sekarang disebut senter. Ia terbuat dari kaleng Kong Ghuan dipotong atau kayu yang dibentuk kubus namun salah satu sisinya dibiarkan terbuka, ia bermassa sedang dan memiliki gagang atau pegangan dari kayu. Fungsi bentuk kubus pada cadok ini adalah sebagai penahan angin. Karena nantinya, si kubus ini dimasukki cempor. Jadi, bisa dikatakan bahwa cadok adalah alat yang dapat menjadikan cempor yang statis menjadi dinamis. Ya, begitu lah pokoknya. He-he-he.

Begitulah sekilang kenangan alat-alat penerangan kala itu. Unik, lucu, ciamik dan ngangenin. Eh!

7.3.21




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline