Lihat ke Halaman Asli

Mukhotib MD

consultant, writer, citizen journalist

Kliwon, Edisi Mercon Cabe Rawit

Diperbarui: 3 Juni 2018   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber Foto: www.liputan6.com)

Kliwon bergembira. Wajahnya tampak bersinar-sinar. Ia akan pergi ke pasar bersama Bapaknya membeli petasan di Pasar Kabupaten. Setelah menempuh jalan hampir 1500 meter, Kliwon dan Bapaknya menyeberang sungai dengan menumpang jasa perahu getek---perahu terbuat dari bambu yang diikat dengan tali. Sungai itu memiliki lebar tidak kurang dari 500 meter, sehingga cukup lama juga berada di atas perahu getek yang dikayuh oleh 3 orang pemilik getek dengan cara menancapkan bambu panjang ke dasar sungai lalu mendorongnya. Terus begitu secara bergantian. Kliwon berpegangan erat di tangan Bapaknya. Ada rasa takut yang mendesir dalam dadanya.

Untuk sampai ke pasar, mereka masih harus berjalan kaki kembali sejauh 1000 meter. Hanya karena berombong-rombong sehingga rasa haus dan lelah seperti tak terasakan. Kliwon sama sekali tak merasa haus, sebab pikirannya fokus pada mercon yang akan dibelikan Bapaknya. Ya, mercon cap Kuda Terbang, merek yang waktu itu sangat dikenal di kalangan anak-anak dan juga oranbg dewasa.

Bahkan, Pak Sarno, orang terkaya di dusun Bluwangan, setiap hari raya Idul Fitri selalu menyalakan mercon rentengan, dari rumahnya di lantai dua. Semua mercon itu, yang jumlah ratusan biji besar dan kecil, semuanya merek Kuda Terbang. Menurut cerita yang di dengar Kliwon, Pak Sarno memang memesan mercon rentengan itu langsung dari pabriknya, sehingga hampir tak ada yang tak meledak. Robekan kertas akan berhamburan, manakala mercon itu meledak, begitu seterusnya. Anak-anak akan berjoged ria di bawah hamburan kertas petasan itu.

"Beli yang ini saja, Pak," kata Kliwon sambil menunjuk ke arah mercon sebesar tangan petinju. Tentu saja permintaan Kliwon tak dipenuhi. Harganya sampai beberapa ribu, dan Bapaknya Kliwon tak akan mampu membayarnya. Kliwon akhirnya hanya dibelikan mercon cabe rawit yang berukuran sebesar lidi pohon aren.

Ada rasa kecewa yang menggelembung dalam dadanya. Mercon rawit itu hanyalah kelas anak-anak umur 7 tahun. Di dusun Bluwangan, anak sebesar Kliwon tentu saja tak lagi bermain mercon cabe rawit, apalagi mercon bantingan, mereka meledakkan mercon setidaknya sebesar lengan kucing. Maka Kliwon tak pernah menyalakan mercon itu, bahkan sampai ketika hari raya Idul Fitri telah tiba.

"Waktu itu, Romo marah," kata Wage.

'Tidak, Romo tidak marah, hanya kecewa," kata Kliwon.

"Waktu kecil dulu, Romo pernah mutus puasa?" Tanya si Pon.

"Wow, tentu saja pernah," kata Legi dengan nada meledek.

"Kok, Simbok tahu," kata Wage.

"Ha ha, ternyata Simbok temannya Romo sejak kecil, ya," lanjut Si Pon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline