STUDI KASUS (FIKTIF BERBASIS KASUS NYATA)
Namanya NN, usia 16 tahun, disekolah dia dikenal pintar tapi murung. Tidak banyak teman, emosinya mudah meledak, terutama kalau merasa tidak dihargai atau dilupakan. Dalam sesi terapi, perlahan terkuak NN dibesarkan oleh ibu yang single parent, namun sangat sibuk bekerja. Ayahnya pergi sejak ia usia 2 tahun, tanpa kontak sampai hari ini.
Ketika ditanya tentang ayah, NN hanya menjawab:
"Ngapain ingat yang nggak pernah hadir?"
Namun saat dibimbing untuk menulis surat imajiner kepada sang ayah, tangisnya pecah.
"Aku nggak tahu rasanya dipeluk ayah. Tapi aku benci setiap kali teman-temanku cerita tentang ayah mereka."
Luka karena kehilangan sosok itu tidak terlihat, tapi terekam di dalam cara anak memaknai hidup dan relasi.
BAGAIMANA KEHILANGAN ITU MERUSAK SECARA MENTAL?
Psikologi klinis memahami kehilangan figur orang tua (fatherless atau motherless) sebagai bentuk ketimpangan perkembangan emosi dan kepribadian, terutama jika terjadi pada fase usia krusial:
*Anak yang kehilangan ibu cenderung mengalami kesulitan dalam regulasi emosi, rasa percaya diri, dan cemas dalam hubungan dekat (attachment anxiety).
*Anak yang kehilangan ayah lebih rentan terhadap impulsifitas, konflik dengan otoritas, dan krisis identitas gender, terutama pada anak laki-laki.
*Kehilangan kedua figur (secara emosional maupun fisik) sering kali menyebabkan gangguan internalisasi (seperti depresi) atau eksternalisasi (perilaku agresif, membangkang, menyakiti diri).
Menurut Psikolog Klinis Dr. Susan Krauss Whitbourne (2019):
"Children may not know what they're missing until they need it. That's the danger of emotionally absent parenting---it doesn't always cause a breakdown, but a delay in collapse."
EFEK JANGKA PANJANG: SEPERTI BOM WAKTU