Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Memulung Sunyi Melalui Puisi

Diperbarui: 2 September 2018   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Melalui puisi, udara pagi dihirup tanpa basa-basi.  Percikan embun di antaranya, adalah kata-kata yang entah bagaimana bisa mengandung kilau mutiara.  Bersama pucuk cemara, kilau itu serta merta menumbuhkan binar mata.

Melalui sunyi, daun kering yang melayang dalam gerakan lambat, seolah paduan kalimat yang begitu khidmat.  Bisa saja daun itu berhenti di udara. Sebuah sketsa luar biasa yang mudah saja menjaninkan kata-kata.  Sangat sempurna.

Melalui puisi, gerutu debu yang enggan menumpang pada angin yang bisu, menghelakan tarikan nafas berulang-ulang.  Dalam kekusutan ternyata tersimpan begitu banyak kata-kata bertulang.  Menjadikan tubuh frasa menegak.  Seperti berdirinya bulu roma pada isyarat kematian dari burung Gagak.

Melalui sunyi, puisi demi puisi dipunguti dengan hati-hati.  Berceceran di jalanan, selokan dan pinggiran lautan.  Dikumpulkan dalam satu wadah yang ditempa api musim dingin.  Supaya wadahnya tak mudah retak oleh kekeringan dan kegaduhan.  Sehingga puisinya bisa menua dengan sendirinya. Bukan mati muda saat kemarau sedang jadi raja.

Sunyi dan puisi.  Saudara tak sedarah namun satu hati.  Saat hidupnya, bersama-sama menggali lubang pemakaman bagi mimpi yang harakiri karena diabaikan malam.  Saat matinya, berbarengan menghuni peti mati yang dipaku oleh lilin-lilin nyaris padam.   

Bogor, 1 September 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline