Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Tulisan yang Menyuruhku Diam

Diperbarui: 9 Agustus 2018   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Michael Gaida -- pixabay.com)

Jika yang aku tuliskan ini hal yang biasa, aku akan berdoa agar pasukan lebah tiba membabi buta, sehingga tulisan ini akan diamuk oleh rasa manis yang luar biasa.

Karena aku hanya menulis tentang keinginan yang terbengkalai akibat janji yang belum tunai. Janji kepada rasa lelah untuk tidak sedikitpun menyerah. Terhadap bulir-bulir keringat yang membeku akibat didinginkan waktu.

Separuh dari hidupku aku serahkan sebagiannya kepada abai. Kemudian aku lalai. Untuk menurunkan tirai jendela saat hujan sedang membadai. Buku-bukuku lalu basah membusuk di sarang anai-anai.

Separuhnya lagi aku pecah menjadi beberapa serpihan. Aku persembahkan untuk memuji kelam, merayu bulan, dan menyengsarakan angan. Aku bagian tertinggi dari apa yang disebut berantakan.

Tulisan ini aku letakkan bersisian dengan makam para penyamun yang gagal melanun. Kapal-kapal di laut sudah tahu bagaimana cara menenun api. Supaya para penyamun itu tidak sepantasnya menghabisi mimpi. 

Tulisan ini aku pasrahkan pada keramaian kota yang mendidihkan urat syaraf pada setiap detiknya. Di atas tungku yang dipanaskan koar-koar para penakut yang berlagak jadi pendekar. Tak sadar pada akhirnya akan terbakar. Setelah makar terhadap cita-cita besar yang jauh sebelumnya diudar.

Tulisan ini biru lebam akibat terantuk batu dan pinggiran trotoar. Merintihkan kesakitan yang dalam. Lalu menyuruhku untuk diam.

Jakarta, 8 Agustus 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline