Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Panggung Diplomasi

Diperbarui: 8 Juni 2017   18:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Layar dikerek naik.  Lampu sorot berkekuatan tinggi menyorot panggung megah.  Suara musik terdengar menggaungkan nasionalisme yang heroik.  Gagah! Suara narator menggelegar;

“Mari kita duduk bersama.  Meja berkelas dan kursi kursi empuk tersedia.  Ruangan ini sudah pakai mesin pendingin kelas dunia.  Jangan lupa pakai jaket.  Siapkan coklat hangat bergelas tinggi.  Hari ini mungkin bisa seharian kita berdiskusi.  Banyak nasib rakyat yang harus kita perbaiki.”

Suara gemuruh laksana lebah pulang ke sarang, membawa pantat pantat berlemak menghempaskan diri ke kursi kursi empuk menidurkan.  Jumlah kursinya 500.  Pantat yang duduk tidak sampai 200.

Kamera steady.  Sidang dibuka.  Pimpinan sidang sungguh berwibawa.  Kamera menyorot para peserta.  Nampak muka muka bersahaja sekilas.  Muka muka culas beberapa kilas.  Suara sang pimpinan sungguh lembut meninabobokan;

“Sidang hari ini kita akan membahas mengenai tiga hal pokok yang menjadi hajat hidup orang banyak di negara kita.  Pertama kesehatan.  Rakyat kita sangat sehat.  Tingkat kesakitan cukup rendah.  Mereka mereka yang tidak puas terhadap pemerintah saja banyak yang sakit hati.  Mereka mereka yang tidak sepaham dengan pemerintah saja banyak yang sakit jiwa.“

Lampu sorot meredup.  Suara musik terdengar sayup sayup.  Membawakan lagu lagu Iwan Fals bernafaskan ironi.  Seorang anggota sidang berdiri mengangkat bendera palang merah.

“Kedua adalah pendidikan.  Anak anak negeri ini sangat pintar.  Sekolah sekolah juga sudah tersebar kemana mana.  Orang orang cerdas dan jenius kita sangat diakui oleh negara negara lain.  Oleh karena itu banyak sekali otak otak brilian anak negeri ini yang dipekerjakan mereka sebagai ahli.  Pesawat, nuklir, aerodinamika, movie maker.  Kita harus bangga.  Kita harus beri mereka penghargaan setinggi tingginya.”

Lampu sorot berkerlap kerlap memanjat panggung.  Musik yang menghantar menjadi semarak dengan rampak gendang bertalu talu.  Lagu lagu yang mengalun tetaplah ironi.  Puluhan anggota sidang ramai bertepuk tangan.  Seolah itu adalah kebanggaan.  Padahal orang orang terpintarnya kecurian orang.

“Ketiga adalah kesejahteraan.  Kita harus melakukan survey kesejahteraan.  Untuk meyakinkan apakah benar kita semua sudah sejahtera.  Setiap hari, BMW, Mercy dan Lamborghini biasa lalu lalang di jalanan.  Pusat pusat perbelanjaan dipenuhi oleh produk produk Chanel, Gucci dan Prada.  Merk fashion ternama yang menunjukkan betapa tingginya selera.” 

Lampu sorot berubah anggun dengan memberikan sinarnya yang paling lembut ke arah panggung.  Para anggota sidang berganti kostum dari baju kerja menjadi baju pesta.  Ketua sidang mengetuk ngetukkan palunya berkali kali.  Memerintahkan mereka bersidang kembali.  Tak ada yang mendengar.  Semua sudah berbaju pesta.  Bahkan masing masing sudah mulai berdansa.

Ketua sidang terbangkitkan amarahnya.  Tak bisa apa apa.  Dia melempar palunya ke udara.  Bersamaan dengan berhamburannya ribuan manusia.  Ribuan manusia sakit dan terluka.  Ribuan manusia terbelakang tidak berpendidikan.  Ribuan manusia baju compang camping.  Mengepung panggung, menggoyang panggung, menghentak hentak panggung.  Orang orang yang berdansa terpelanting.  Panggung bergetar hebat.  Lampu lampu sorot terguncang guncang. Sinar sinar bersilangan tak karuan.  Kekacauan mengambil alih keadaan.  Histeria massa merajalela.  Para terhormat terjungkal terinjak injak.  Para tidak terhormat naik ke panggung yang sudah reyot sebelah. 

Panggung diplomasi terguncang.  Kehancurannya sudah datang. 

Jakarta, 8 Juni 2017




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline