Negara Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa (ethnic group) dengan beragam sikap, kepercayaan, nilai nilai atau kebutuhan, merupakan suatu kondisi yang sangat rentan untuk terjadinya konflik antar suku bangsa.
Mengacu pada beberapa literatur, konflik antar suku bangsa (konflik sosial) dapat terjadi karena adanya pertentangan antar individu/kelompok, terdapat perselisihan dalam mencapai tujuan atau perbedaan persepsi dalam menafsirkan sesuatu, terdapat pertentangan norma dan nilai individu maupun kelompok, adanya sikap dan perilaku saling meniadakan, menghalangi pihak lain untuk memperoleh kemenangan dalam memperebutkan sumber daya yang terbatas, adanya perdebatan dan pertentangan sebagai akibat munculnya kreativitas, inisiatif atau gagasan gagasan baru dalam mencapai tujuan dan sebagainya (Wahyudi , 2005 : 17).
Mengingat terjadinya konflik sosial tidak secara mendadak tanpa sebab dan proses, namun melalui tahapan tertentu (eskalasi) dari peristiwa sehari hari yang sifatnya tersembunyi/tertutup/laten yang ditandai dengan munculnya berbagai indikasi tidak langsung yang memerlukan pemahaman, meningkat pada yang semu/tertata, sampai kepada pertentangan yang terbuka/pecah /tumpah ruah mengarah pada kekerasan sampai pertumpahan darah yang penuh emosional, sehingga banyak orang yang mengasosiasikan konflik sosial merupakan hal yang negatif atau buruk, karenanya cenderung dihindari (Adrianus Meliala, 2007 : 4, 12).
Namun demikian ada juga yang menyatakan bahwa konflik kosial memiliki dimensi positif yang berpotensi menghasilkan perubahan secara lebih cepat, nyata dan signifikan, tak jarang lebih solutif ketimbang penyelesaian non konflik, apabila tidak mampu melahirkan solusi maka bisa dilakukan resolusi konflik /mengelola konflik melalui displacing (mengalihkan konflik dalam bentuk lain), dialoguing (menahan konflik tetap pada level yang bisa dimusyawarahkan), Upraising (membawa konflik pada pihak yang dianggap lebih tinggi), Formalizing (diambil alih oleh pihak resmi seperti pengadilan), dan Localizing (menahan konflik untuk tetap fokus, tidak dikaitkan dengan hal lain) (Adrianus Meliala, 2007 : 4,18) dalam suatu aktivitas yang disebut Polmas.
Polmas dipandang sebagai alternatif yang paling sesuai untuk mengelola konflik antar suku bangsa, karena Polmas memiliki prinsip yang lebih menekankan kepada hubungan sosial, partisipatif, dan kerja sama serta upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban yang bertumpu pada inisiatif dan pemberdayaan masyarakat, serta menggalang kerjasama dan partisipasi antar suku bangsa dalam memecahkan masalah sosial untuk mencari solusi-solusi yang tepat tanpa adanya dominasi dan monopoli salah satu pihak dalam menyelesaikan masalah (Sutanto, 79-83).
Ada dua suku bangsa atau lebih yang terlibat, artinya ada interaksi antara personal maupun antar kelompok diantara suku bangsa/etnik yang terlibat. Ada tujuan yang menjadi sumber konflik/dijadikan sasaran konflik. Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan antar suku bangsa untuk mencapai tujuan/sasaran.
Ada situasi konflik yang bertentangan meliputi situasi antar pribadi, antar kelompok dan antar organisasi. Adapun yang menjadi sumber konflik antara lain : karena perbedaan nilai (prinsip) dan sikap etnosentris. kurangnya komunikasi, kepemimpinan yang kurang efektif/pengambilan keputusan yang tidak adil.
Adanya Prasangka dan stereotip. Perubahan keseimbangan (sumber daya alam, status sosial-ekonomi, kesejahteraan, pendapatan, pendidikan, dominasi budaya dan sebagainya), dan konflik yang belum terpecahkan/diselesaikan. Eskalasi konflik berkembang dari yang sifatnya tersembunyi, tertata sampai kepada yang terbuka. Dengan bentuk konflik antar suku bangsa berupa : Kerusuhan. Anarkhi. Pertikaian. Mogok/Boikot. Permusuhan antar Kampung. Perkelahian Pelajar. Penghinaan Agama. Tawuran. Pemisahan Ras. Main Hakim Sendiri. Penjarahan. Perlakuan berbeda, dan sebagainya.
Guna mengontrol eskalasi konflik agar tidak berkembang menjadi konflik yang terbuka/pecah/tumpah ruah, penerapan strategi Polmas merupakan suatu pilihan untuk memecahkan masalah dalam manajemen konflik (pengelolaan konflik), yakni tindakan konstruktif yang direncanakan, diorganisasikan, digerakkan, dan dievaluasi secara teratur atas semua usaha demi mengakhiri konflik antar suku bangsa yang dilakukan sejak pertama kali konflik mulai tumbuh.
Selanjutnya melalui Polmas, Polri bermitra dengan Instansi tekait, Ketua Adat, Tokoh Masyarakat, dan perwakilan masyarakat (suku bangsa) yang berkonflik dengan melakukan dialog dan mengontrol eskalasi konflik sehingga dapat diatasi atau diselesaikan dengan mempergunakan berbagai pendekatan.